Nagasasra dan Sabuk Inten 41

Karya : SH Mintardja

Dalam kemarahan yang memuncak itu, tiba-tiba dengan cepatnya tangan Pasingsingan bergerak seperti orang menabur benih. Dan bersamaan dengan itu memancarlah cahaya kekuning-kuningan ke segenap penjuru. Ternyata di tangan iblis itu tergenggam sebuah pisau belati panjang yang berwarna kuning keemasan. Itulah pusaka Pasingsingan yang bernama Kyai Suluh.

Dengan senjata itu di tangan, terdengarlah Pasingsingan bergumam, ”Aku masih berbaik hati kepada kalian. Kalau aku ingin membunuh kalian, dengan senjata ini. Aku dapat membakar tubuh kalian seperti membakar jangkrik dengan ilmu Alas Kobar.” Mau tidak mau hati mereka tergetar melihat cahaya gemerlapan yang memancar dari senjata Pasingsingan itu. Meskipun di malam yang gelap, namun pantulan cahaya bintang-bintang di langit telah mampu untuk menyilaukan mata. Tetapi meskipun demikian, sekali lagi, mereka bertekad untuk bertempur sampai tenaga terakhir, sampai tetes darah terakhir pula. Pasingsingan kini tidak mau memperpanjang waktu lagi. Ia sudah tidak mendengar derap kuda yang melingkar-lingkar di lembah. Pasti orang-orang berkuda itu telah terlibat dalam pertempuran melawan Lawa Ijo.

Pasingsingan mengharap Lawa Ijo dan kawan-kawannya dapat memberinya waktu. Karena itu, waktu yang sempit ini harus dipergunakan sebaik-baiknya. Demikianlah akhirnya terdengar dari mulut Pasingsingan itu suitan nyaring, dan bersamaan dengan itu melontarlah tubuhnya seperti bayangan hantu di malam yang kelam menyerang dengan dahsyatnya. Tak seorang pun yang mengharap dapat keluar dari pertempuran itu. Karena itu, malahan mereka menjadi tenang dan bertempur mati-matian. Kalau mungkin mereka akan membawa iblis itu hancur bersama dengan mereka. Tetapi ketika senjata-senjata mereka sekali saja bersentuhan dengan pusaka Pasingsingan, terasa tangan mereka bergetaran keras, dan perasaan sakit menjalar kesegenap tubuh mereka.

Tetapi ketika saat yang memuncak itu hampir sampai pada titik tertinggi, mereka mendengar derap orang berlari. Disusul dengan sebuah sapa yang tergesa-gesa, ”Selamat malam Pasingsingan muda, yang pernah bergelar Umbaran.” Pasingsingan terkejut mendengar sapa itu. Apalagi ketika ia mendengar orang itu menyebut nama Umbaran. Karena itu, sedemikian terkejutnya hantu berjubah abu-abu itu terloncat mundur beberapa langkah dan dengan sikap yang menakutkan ia memutar tubuhnya ke arah suara sapa yang telah mengganggunya itu.

Kemudian tampaklah dalam kegelapan malam, seseorang tersembul dengan cepat dari balik pepohonan. Dengan langkah yang tergesa-gesa pula ia berjalan mendekat lingkaran pertempuran itu. Bersamaan dengan itu hampir setiap mulut menyebut nama orang itu dengan penuh harapan dan kegembiraan yang membersit di dalam dada mereka. Bahkan terdengar Pasingsingan bergumam di belakang topeng jeleknya, ”Mahesa Jenar.” ”Ya,” jawab orang itu. ”Hampir aku terlambat datang.”

Pasingsingan memandang Mahesa Jenar dengan seksama. Ia heran bahwa Mahesa Jenar berhasil muncul dalam waktu jauh lebih cepat dari perhitungannya. Ia mengharap Lawa Ijo setidak-tidaknya dapat menahannya, untuk waktu yang cukup baginya membunuh orang-orang yang telah menyakitkan hatinya itu. Namun agaknya Pasingsingan salah hitung.

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara bukanlah anak-anak yang dapat diberinya sekadar permainan untuk melupakan ibunya yang sedang pergi. Demikianlah, dalam perjalanan pulang, Kebo Kanigara, Mahesa Jenar dan kawannya seolah-olah telah mendapat suatu firasat yang kurang baik. Dengan kencangnya mereka memacu kuda mereka seperti anak panah. Mereka menjadi tidak tenang, serasa meninggalkan anak-anak bermain di tepi sungai. Karena itu maka yang tergores di dalam angan-angan mereka, adalah secepatnya sampai ke Candi Gedong Sanga. Apalagi ketika mereka sampai ke lembah di hadapan daerah perkemahan mereka. Kebo Kanigara ternyata mempunyai perasaan yang tajam sekali. Ketika angin yang aneh menyentuh kulitnya, berkatalah ia bergumam seperti kepada diri sendiri, ”Alangkah sejuknya malam.” Mahesa Jenar masih belum merasakan sesuatu yang tidak pada tempatnya, karena itu ia menjawab, ”Sejuk, bahkan terlalu sejuk. Aku kira malam musim kemarau ini dinginnya benar-benar sampai menggigit tulang.”

Kebo Kanigara menoleh kepada Mahesa Jenar. Dari wajah kawan seperjalanannya itu Kebo Kanigara dapat mengetahuinya bahwa Mahesa Jenar belum merasakan sesuatu. Namun waktu itu tidak terlalu lama. Sebab kemudian tampaklah alis Mahesa Jenar berkerut. Dan tiba-tiba dengan nanar ia memandang ke arah perkemahan anak-anak Banyubiru, meskipun yang tampak hanyalah kehitaman melulu. Namun seolah-olah ia ingin menembus hitamnya malam, dan langsung ingin mengetahui apa yang telah terjadi dibalik tabir malam yang kelam itu.

Tiba-tiba terdengar Mahesa Jenar berkata, ”Ya, alangkah sejuknya malam.”

Kebo Kanigara tersenyum. Tetapi kendali kudanya dipegangnya semakin erat. Tumitnya beberapa kali menyentuh perut kudanya, untuk mempercepat perjalanan. Mahesa Jenar pun berbuat serupa, diikuti oleh Wanamerta, Bantaran dan Penjawi yang telah menggigil kedinginan.Bahkan terdengar Wanamerta yang tua berdesis, ”Alangkah anehnya alam. Kalau siang panasnya seperti memecahkan kepala. Kalau malam dinginnya sampai membekukan darah. Tetapi agaknya Anakmas berdua di muka itu tidak merasakan betapa tubuhku hampir membeku. Bahkan mereka mempercepat lari kuda mereka.”

”Bukankah lebih cepat lebih baik Paman?” jawab Bantaran. ”Dengan demikian kita lebih cepat sampai untuk kemudian menyalakan api sebesar-besarnya. Membakar jagung dan ketela. Alangkah nikmatnya. Meskipun aku tadi sudah mendapat suguhan makan, namun laparnya bukan main.” Terdengar Penjawi tertawa saja. Kemudian terdengar di sela-sela suara tertawanya. ”Kakang Bantaran. Untunglah bahwa tempat nasimu tadi tidak dilubangi oleh orang-orang Pamingit, sehingga kau masih akan dapat menikmati perasaan kenyang.” Terdengar mereka bertiga tertawa. Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar menoleh sambil tersenyum pula. Tetapi mereka sudah tidak mampunyai minat untuk turut serta berkelakar. Sebab sudah terasa oleh mereka itu, bahwa di Gedong Sanga telah terjadi sesuatu. Bahkan kemudian terdengar Mahesa Jenar berbisik, untuk tidak menggelisahkan pengikutnya. ”Apakah yang telah mempengaruhi udara malam ini Kakang?”

”Aku takut bahwa Bantaran dan Penjawi akan tertidur di atas kudanya,” jawab Kebo Kanigara. ”Sirep,” desis Mahesa Jenar. ”Ya,” jawab Kanigara singkat.

Kemudian untuk sesaat mereka terdiam. Tetapi kuda mereka berpacu lebih cepat lagi. Semakin dekat, semakin terasa pengaruh yang aneh mengalir menurut angin lembah menyentuh-nyentuh tubuh mereka. Kemudian terdengarlah sekali lagi Penjawi menguap sambil menggerutu, ”Ah, ada-ada saja. Dalam berpacu begini dapat juga aku menjadi ngantuk.” ”Kami terlalu letih,” jawab Bantaran yang mulai ngantuk pula.

Mendengar pembicaraan mereka, Kebo Kanigara menjadi cemas. Maka katanya kepada Mahesa Jenar, ”Kita beritahu mereka, supaya mereka berjuang mempertahankan kesadaran mereka. Sedang Paman Wanamerta, aku kira mempunyai kemampuan yang cukup dalam tubuhnya yang telah tua dan penuh pengalaman itu.” ”Baiklah Kakang,” jawab Mahesa Jenar. Kemudian Kebo Kanigara melambaikan tangannya dan sedikit memperlambat jalan kudanya, sehingga dalam waktu yang hanya sekejap, Bantaran, Penjawi dan Wanamerta telah menyusulnya. ”Apakah kalian ngantuk…?” tanya Kebo Kanigara. ”Ya,” jawab mereka hampir bersamaan. ”Bagus,” sahut Kebo Kanigara, ”Itu pertanda bahwa perasaan kalian cukup tajam. Sayang bahwa kalian kurang memperhatikan perasaan kalian. Apakah perasaan yang demikian itu wajar atau tidak.” Mereka menggeleng bersama-sama. ”Nah, kalau demikian kalian berada dalam keadaan yang khusus. Kantuk sambil berkuda. Hal yang tidak pernah kalian alami selama kalian menjadi anggota laskar Banyubiru. Karena itu ketahuilah, bahwa kalian telah terkena pengaruh ilmu yang tajam.”

”Sirep,” potong mereka hampir bersamaan. Kebo Kanigara mengangguk, katanya meneruskan, ”Ya, kalian merasakan betapa nyamannya udara malam ini. Karena itu kalian harus berusaha untuk tetap pada kesadaran kalian, bahwa kalian sedang mendapat serangan. Pertahankanlah diri kalian. Pusatkan segenap kekuatan kalian untuk melawan serangan ini. Karena itu kalian harus tetap menjaga dan meyakini keadaan ini.” ”Baiklah Tuan,” jawab Bantaran dan Penjawi bersamaan. Dengan demikian mereka mulai dengan perjuangan mereka untuk menguasai kesadaran mereka. Namun pengetahuan mereka tentang keadaan mereka pada saat itu, yaitu adanya libatan pengaruh sirep pada diri mereka, ternyata merupakan bekal yang baik di dalam usaha mereka mempertahankan diri mereka masing-masing. Wanamerta yang tua itupun tampak merenung. Agaknya iapun sedang merasakan dengan seksama keadaan dirinya. Kemudian terdengarlah ia bergumam, ”Hem…. Untunglah Angger Kebo Kanigara cukup waskita. Memang kantukku kali ini agaknya bukan sembarang kantuk.”

Kemudian terdengar Kebo Kanigara berkata pula, ”Nah, kalau demikian akan selamatlah kalian. Sebab kalau kalian tidur sambil berkuda di jalan-jalan yang terjal dan berkelok-kelok ini, sangatlah berbahaya. Lebih berbahaya lagi kalau tiba-tiba muncul beberapa orang menghadang perjalanan ini dan melubangi tempat nasi kalian yang nyaris dilubangi oleh orang-orang Pamingit.” Bantaran, Penjawi dan Wanamerta tertawa perlahan. Namun mereka tidak lagi mempunyai kesempatan untuk berkelakar. Mereka segera memusatkan kesadaran mereka dalam perlawanan mereka terhadap pengaruh sirep yang terasa semakin tajam. Kembali mereka berdiam diri. Udara malam terasa menjadi semakin dingin. Dari dinding bukit-bukit kecil di sekitar lembah itu terdengar gema pantulan derap kaki kuda mereka seperti ratusan kuda yang berlari-lari mengitari lembah itu. Semakin dekat mereka dengan daerah perkemahan anak-anak Banyubiru, perasaan mereka menjadi semakin tidak tenteram. Ketika mereka sampai pada tanjakan terakhir, tiba-tiba di dalam kegelapan malam, mata Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara yang tajam itu melihat beberapa orang berdiri bertolak pinggang di tengah jalan. Dengan demikian hati mereka berdesir. Mereka pasti pasukan anak-anak Banyubiru. Karena itu segera mereka memperlambat jalan kuda mereka. Kemudian terdengarlah Kebo Kanigara berbisik, ”Mereka benar-benar menghadang perjalanan kita.”

”Aku menjadi semakin gelisah atas keselamatan anak-anak kita, Kakang,” jawab Mahesa Jenar.

”Lalu apakah yang akan kita lakukan?” tanya Kebo Kanigara.

”Aku harus secepatnya sampai di perkemahan,” sahut Mahesa Jenar.

Kebo Kanigara merasakan, apa yang tersirat di dalam dada Mahesa Jenar. Ia meninggalkan dua orang yang sangat penting di dalam perbendaharaan hatinya. Yang pertama adalah Arya Salaka, sebagai beban pertanggungjawaban yang sepenuhnya berada di tangannya. Kedua adalah orang yang telah merampas hatinya. Yang bagaimanapun juga dikesampingkan, namun dalam saat-saat yang berbahaya, perasaan itu akan menjadi bertambah nyata. Karena itu tidak ada alasan baginya untuk menahan maksud Mahesa Jenar, meskipun ia sendiri digelisahkan pula oleh satu-satunya putri yang ditinggalkan di perkemahan itu pula. Namun apabila salah seorang dari mereka berdua dapat mencapai tempat itu secepatnya, maka keadaan pasti akan dapat dikuasai, siapapun yang sedang berada di sana. ”Kalau begitu…” akhirnya Kebo Kanigara mengambil keputusan, ”Biarkan aku berjalan terus menghadapi orang-orang itu. Kau cari jalan lain untuk segera sampai ke perkemahan itu. Kita masih belum tahu siapakah yang menghadang perjalanan kita. Apakah kita memerlukan waktu sedikit atau banyak.” ”Baik Kakang,” jawab Mahesa Jenar. Kemudian dengan tidak menunggu kata-kata Kebo Kanigara lagi, Mahesa Jenar meloncat dari kudanya. Kemudian menyelinap hilang dibalik gerumbul-gerumbul di tepi jalan lembah itu, untuk kemudian dengan tergesa-gesa lewat jalan memintas langsung menuju ke perkemahan di Gedong Sanga yang sudah tidak seberapa jauh lagi. Apalagi Mahesa Jenar mengambil jalan lurus, meskipun sekali-kali harus mendaki tebing dan meloncati lubang-lubang yang banyak berserakan di sana-sini. Ia tidak mempunyai angan-angan lain pada saat itu daripada secepatnya sampai di daerah perkemahan. Meskipun demikian, ia sempat mendengarkan saat derap kuda-kuda rombongannya itu berhenti. Namun ia sama sekali tidak mempedulikan. Ia percaya bahwa Kebo Kanigara pasti akan dapat mengatasi keadaan.

WANAMERTA, Bantaran dan Penjawi pun terkejut melihat Mahesa Jenar meloncat turun dari kudanya dan kemudian menghilang. Tetapi mereka tidak sempat bertanya ketika kemudian terdengar Kebo Kanigara berkata, ”Bawalah kudanya. Ia perlu secepatnya sampai di perkemahan kita. Bersiaplah menghadapi kemungkinan di depan kita.” Sebelum mereka menjawab, jarak mereka dengan orang-orang yang berdiri di tengah jalan itu sudah demikian dekatnya sehingga mereka terpaksa menghentikan kuda-kuda mereka. Namun mereka masih tetap berada di atasnya. Sesaat kemudian salah seorang yang berdiri di tengah, bertubuh kekar dan berkumis tebal melangkah maju sambil berkata dengan suara yang menakutkan, ”Siapa kalian?” ”Aku Karangdjati,” jawab Kanigara perlahan-lahan.

”Hem…” dengus orang yang bertanya, yang tidak lain adalah Lawa Ijo. ”Kalian mau ke mana?” ”Kami ingin kembali ke perkemahan kami,” jawab Kanigara.

”Hem….” Sekali lagi Lawa Ijo mendengus. ”Dari manakah kalian?”

Sampai pertanyaan itu, Kebo Kanigara merasa bahwa orang yang berdiri menghadangnya itu ingin memperpanjang waktu dengan mengajukan berbagai pertanyaan. Karena itu ia segera mencoba mempersingkat pembicaraan. ”Aku datang dari Banyubiru. Kau tidak usah menanyakan keperluanku. Dan kau tidak usah mengurus hal-hal di luar kepentinganmu. Nah sekarang katakan kepadaku siapa kau ini?” Lawa Ijo tertawa, jawabnya, ”Jarang-jarang aku menemui pertanyaan serupa itu, sebab hampir setiap orang mengenal aku. Akulah yang dinamai Lawa Ijo dari Alas Mentaok.” ”Ooo….” sahut Kanigara. Sekarang ia dapat mengukur kekuatan lawannya, sebab ia telah mendengar kekuatan hantu Alas Mentaok ini. Tetapi agaknya Lawa Ijo masih saja ingin bertanya-tanya. Apalagi ketika ia tidak melihat Mahesa Jenar diantara orang-orang rombongan berkuda itu. ”Berapa orang kalian semuanya?” ”Empat,” jawab Kanigara mulai jengkel.

”Tetapi jumlah kuda kalian adalah lima. Di mana yang seorang?” tanya Lawa Ijo pula.

Kanigara sudah tidak mau melayani pertanyaan-pertanyaan yang menjemukan itu lagi. Ia ingin cepat-cepat lewat dan menemui putrinya. Kalau-kalau ia mengalami sesuatu.

Karena itu Kanigara berkata lantang, ”Minggirlah Lawa Ijo, supaya aku bisa lewat, atau supaya kamu tidak terinjak oleh kaki kuda-kuda kami.” Lawa Ijo adalah seorang kepala gerombolan yang ditakuti oleh penduduk di sekitar Alas Mentaok. Bahkan namanya tersiar sampai ke daerah-daerah yang jauh. Karena itu ketika ia mendengar seorang yang takut terinjak seakan-akan menganggapnya tidak lebih dari seorang yang takut oleh kaki-kaki kuda, ia menjadi marah. Apalagi orang yang duduk di atas punggung kuda dan memandangnya dengan berani itu bukanlah orang yang pernah menggemparkan karena kesaktiannya. Kalau semula ia agak cemas terhadap Mahesa Jenar setelah mengetahui tingkat ilmu Arya Salaka, muridnya, maka kemudian ia menjadi berlega hati ketika Mahesa Jenar tidak ada di dalam rombongan itu. Meskipun ia mulai bertanya, ketika diketahuinya bahwa seekor kuda dari rombongan itu ternyata tidak berpenumpang.

Maka dengan marah ia menjawab dengan kasarnya, ”Karangjati, kau harus belajar menilai seseorang. Aku minta kau turun dari kudamu untuk menghormati kehadiranku di sini. Kemudian kau harus berkata sejujur-jujurnya, di mana Mahesa Jenar sekarang berada. Sesudah itu baru aku dapat memberi keputusan apakah kau akan diijinkan meneruskan perjalanan ke perkemahan orang-orang Banyubiru, atau kau terpaksa kembali ke Banyubiru.” Kanigara semakin tidak senang melihat sikap itu. Sebenarnya ia tidak perlu marah kepada Lawa Ijo, sebab ia tahu benar bahwa demikianlah sifat-sifat yang pada umumnya dimiliki oleh orang-orang dari kalangan hitam. Tetapi kali ini Kanigara tergesa-gesa benar. Karena itu ia merasa terganggu. Sehingga dengan tajamnya ia menjawab, ”Lawa Ijo, aku sedang tergesa-gesa. Kau pasti tahu apa sebabnya. Dan kau tidak usah menyembunyikan diri, bahwa kau sengaja menghalangi perjalananku dan menurut dugaanmu Mahesa Jenar akan lambat datang ke perkemahan. Tetapi dengan demikian aku menjadi semakin yakin, bahwa kau pasti telah berbuat kejahatan terhadap anak-anak Banyubiru. Udara yang mengandung pengaruh sirep ini telah mengabarkan kepadaku sejak tadi bahwa ada sesuatu yang kurang pada tempatnya.” Dada Lawa Ijo berdesir mendengar kata Kebo Kanigara yang menebak dengan tepat apa yang sedang terjadi. Karena itu ia merasa tidak perlu untuk memutar-mutar pembicaraan lagi, bahkan ia mengharap agar orang yang menamakan diri Karangjati itu menjadi gelisah dan kecemasan. Katanya, ”Kau benar. Ternyata otakmu terang seperti bintang-bintang di langit itu. Karena itu seharusnya kau juga mengerti bahwa orang-orang Banyubiru dan orang-orang yang datang bersama Mahesa Jenar telah habis terbunuh. Karena itu maka sekarang datang giliran padamu dan orang-orang yang datang bersertamu itu.” Kanigara mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak yakin bahwa kata-kata Lawa Ijo itu benar-benar telah terjadi. Sebab dengan demikian tidak perlu agaknya bagi Lawa Ijo untuk mencegatnya di perjalanan, meskipun tinggal beberapa langkah dari perkemahan.

Kalau apa yang dikatakan Lawa Ijo itu benar-benar telah terjadi, maka pasti Lawa Ijo akan membiarkan mereka itu sampai di perkemahan dan membunuhnya di sana pula, atau sama sekali membiarkan hidup apabila mereka merasa tidak mampu untuk melawan.

Wanamerta, Bantaran dan Penjawi pun terkejut melihat Mahesa Jenar meloncat turun dari kudanya dan kemudian menghilang. Tetapi mereka tidak sempat bertanya ketika kemudian terdengar Kebo Kanigara berkata, ”Bawalah kudanya. Ia perlu secepatnya sampai di perkemahan kita. Bersiaplah menghadapi kemungkinan di depan kita.” Sebelum mereka menjawab, jarak mereka dengan orang-orang yang berdiri di tengah jalan itu sudah demikian dekatnya sehingga mereka terpaksa menghentikan kuda-kuda mereka. Namun mereka masih tetap berada di atasnya.

Sesaat kemudian salah seorang yang berdiri di tengah, bertubuh kekar dan berkumis tebal melangkah maju sambil berkata dengan suara yang menakutkan, ”Siapa kalian?” ”Aku Karangdjati,” jawab Kanigara perlahan-lahan. ”Hem…” dengus orang yang bertanya, yang tidak lain adalah Lawa Ijo. ”Kalian mau ke mana?” ”Kami ingin kembali ke perkemahan kami,” jawab Kanigara. ”Hem….” Sekali lagi Lawa Ijo mendengus. ”Dari manakah kalian?”

Sampai pertanyaan itu, Kebo Kanigara merasa bahwa orang yang berdiri menghadangnya itu ingin memperpanjang waktu dengan mengajukan berbagai pertanyaan. Karena itu ia segera mencoba mempersingkat pembicaraan. ”Aku datang dari Banyubiru. Kau tidak usah menanyakan keperluanku. Dan kau tidak usah mengurus hal-hal di luar kepentinganmu. Nah sekarang katakan kepadaku siapa kau ini?” Lawa Ijo tertawa, jawabnya, ”Jarang-jarang aku menemui pertanyaan serupa itu, sebab hampir setiap orang mengenal aku. Akulah yang dinamai Lawa Ijo dari Alas Mentaok.” ”Ooo….” sahut Kanigara. Sekarang ia dapat mengukur kekuatan lawannya, sebab ia telah mendengar kekuatan hantu Alas Mentaok ini. Tetapi agaknya Lawa Ijo masih saja ingin bertanya-tanya. Apalagi ketika ia tidak melihat Mahesa Jenar diantara orang-orang rombongan berkuda itu. ”Berapa orang kalian semuanya?” ”Empat,” jawab Kanigara mulai jengkel. ”Tetapi jumlah kuda kalian adalah lima. Di mana yang seorang?” tanya Lawa Ijo pula. Kanigara sudah tidak mau melayani pertanyaan-pertanyaan yang menjemukan itu lagi. Ia ingin cepat-cepat lewat dan menemui putrinya. Kalau-kalau ia mengalami sesuatu.

Karena itu Kanigara berkata lantang, ”Minggirlah Lawa Ijo, supaya aku bisa lewat, atau supaya kamu tidak terinjak oleh kaki kuda-kuda kami.” Lawa Ijo adalah seorang kepala gerombolan yang ditakuti oleh penduduk di sekitar Alas Mentaok. Bahkan namanya tersiar sampai ke daerah-daerah yang jauh. Karena itu ketika ia mendengar seorang yang takut terinjak seakan-akan menganggapnya tidak lebih dari seorang yang takut oleh kaki-kaki kuda, ia menjadi marah. Apalagi orang yang duduk di atas punggung kuda dan memandangnya dengan berani itu bukanlah orang yang pernah menggemparkan karena kesaktiannya. Kalau semula ia agak cemas terhadap Mahesa Jenar setelah mengetahui tingkat ilmu Arya Salaka, muridnya, maka kemudian ia menjadi berlega hati ketika Mahesa Jenar tidak ada di dalam rombongan itu. Meskipun ia mulai bertanya, ketika diketahuinya bahwa seekor kuda dari rombongan itu ternyata tidak berpenumpang.

Maka dengan marah ia menjawab dengan kasarnya, ”Karangjati, kau harus belajar menilai seseorang. Aku minta kau turun dari kudamu untuk menghormati kehadiranku di sini. Kemudian kau harus berkata sejujur-jujurnya, di mana Mahesa Jenar sekarang berada. Sesudah itu baru aku dapat memberi keputusan apakah kau akan diijinkan meneruskan perjalanan ke perkemahan orang-orang Banyubiru, atau kau terpaksa kembali ke Banyubiru.” Kanigara semakin tidak senang melihat sikap itu. Sebenarnya ia tidak perlu marah kepada Lawa Ijo, sebab ia tahu benar bahwa demikianlah sifat-sifat yang pada umumnya dimiliki oleh orang-orang dari kalangan hitam. Tetapi kali ini Kanigara tergesa-gesa benar. Karena itu ia merasa terganggu. Sehingga dengan tajamnya ia menjawab, ”Lawa Ijo, aku sedang tergesa-gesa. Kau pasti tahu apa sebabnya. Dan kau tidak usah menyembunyikan diri, bahwa kau sengaja menghalangi perjalananku dan menurut dugaanmu Mahesa Jenar akan lambat datang ke perkemahan. Tetapi dengan demikian aku menjadi semakin yakin, bahwa kau pasti telah berbuat kejahatan terhadap anak-anak Banyubiru. Udara yang mengandung pengaruh sirep ini telah mengabarkan kepadaku sejak tadi bahwa ada sesuatu yang kurang pada tempatnya.”

Dada Lawa Ijo berdesir mendengar kata Kebo Kanigara yang menebak dengan tepat apa yang sedang terjadi. Karena itu ia merasa tidak perlu untuk memutar-mutar pembicaraan lagi, bahkan ia mengharap agar orang yang menamakan diri Karangjati itu menjadi gelisah dan kecemasan. Katanya, ”Kau benar. Ternyata otakmu terang seperti bintang-bintang di langit itu. Karena itu seharusnya kau juga mengerti bahwa orang-orang Banyubiru dan orang-orang yang datang bersama Mahesa Jenar telah habis terbunuh. Karena itu maka sekarang datang giliran padamu dan orang-orang yang datang bersertamu itu.” Kanigara mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak yakin bahwa kata-kata Lawa Ijo itu benar-benar telah terjadi. Sebab dengan demikian tidak perlu agaknya bagi Lawa Ijo untuk mencegatnya di perjalanan, meskipun tinggal beberapa langkah dari perkemahan.

Kalau apa yang dikatakan Lawa Ijo itu benar-benar telah terjadi, maka pasti Lawa Ijo akan membiarkan mereka itu sampai di perkemahan dan membunuhnya di sana pula, atau sama sekali membiarkan hidup apabila mereka merasa tidak mampu untuk melawan.

Kanigara menjawab, ”Jangan membual Lawa Ijo. Apa gunanya kau mempersulit dirimu menghadang kami di tengah jalan…? Kenapa tidak kau tunggu saja kami di perkemahan? Tetapi dengan kehadiranmu di sini, aku menduga bahwa ada orang lain yang sedang melakukan tugasnya di perkemahan. Katakan siapakah dia. Gurumu yang bergelar Pasingsingan barangkali…?”

Sekali lagi dada Lawa Ijo berdesir cepat. Orang itu benar-benar berotak cerah seperti apa yang dikatakan. Namun demikian ia merasa bahwa dirinya adalah orang yang sukar dicari bandingannya. Dengan demikian sambil membusungkan dada ia berkata, ”Sekali lagi aku membenarkan kata-katamu. Guruku berada di sana dan saat ini sedang membinasakan semua orang yang ditemuinya.”

Kanigara tidak membuang waktu lagi. Tanpa diduga oleh Lawa Ijo, Kanigara menarik kekang kudanya dan memukul perut kuda itu dengan tumitnya. Dengan terkejut kudanya meloncat maju. Melihat kuda itu seperti akan menerkamnya, Lawa Ijo pun terkejut. Namun ia benar-benar tidak mau terinjak oleh kaki kuda itu. Dengan cepatnya ia memutar tubuhnya sambil  meloncat ke samping. Dengan mengumpat sejadi-jadinya ia menerjang Kebo Kanigara.

Ternyata Kebo Kanigara memiliki kelincahan jauh di luar dugaan Lawa Ijo. Ketika ia menerjang dengan garangnya, tiba-tiba terasa pergelangan tangannya tertangkap dengan kuatnya. Bahkan beberapa saat ia tergantung-gantung dibawa oleh derap kuda Kebo Kanigara untuk kemudian terbanting dengan kerasnya di padas tepi jalan itu. Untunglah bahwa tubuh Lawa Ijo benar-benar keras seperti batu. Meskipun sakitnya bukan main, namun ia masih dapat meloncat untuk kemudian berdiri. Ketika ia sudah tegak berdiri, ia melihat anak buahnya mencoba untuk menyerang Kebo Kanigara dan kawan-kawannya. Tetapi apakah yang dapat mereka lakukan, hanyalah seperti sebuah permainan anak-anak yang sama sekali tidak menarik. Lawa Ijo melihat, kuda Kebo Kanigara membalik sekali, dan menyambar beberapa orang sekaligus. Sedang Bantaran, Penjawi dan Wanamertapun telah melawan penyerang-penyerangnya dari atas kuda mereka.

Tetapi yang paling mengerikan adalah gerak kuda Kebo Kanigara. Seperti seekor elang yang gagah melayang-layang dengan derasnya menyambar mangsanya. Lawa Ijo benar-benar ngeri melihatnya. ”Gila,” gumamnya, ”Siapakah orang ini?”

Tetapi ia tidak mau berdiam diri. Dengan sebuah teriakan nyaring melontarlah dari kedua belah tangannya, dua benda yang berkilat-kilat seperti tatit melayang ke arah Kebo Kanigara. Demikian cepatnya kedua pisau belati panjang itu, sehingga kecepatan mata hampir tak mampu mengikutinya.

Demikianlah Lawa Ijo memang memiliki keahlian untuk menyerang dengan pisau dari jarak jauh. Tetapi sasaran Lawa Ijo kali ini adalah Kebo Kanigara. Karena itu meskipun pisau Lawa Ijo itu dengan cepatnya menyambar satu kearah kepalanya, sedang yang lain ke arah perutnya, namun Kanigara masih juga mampu menghindari. Mula-mula ia membungkuk lekat dengan punggung kudanya, kemudian untuk menghindari sambaran pisau yang mengarah keperutnya, ia memutar tubuhnya melekat ke bagian sisi punggung kuda itu, sehingga dengan demikian pisau Lawa Ijo berlari tidak lebih dari secengkang di atasnya. Kali ini dada Lawa Ijo benar-benar seperti diguncang-guncang melihat keterampilan Kebo Kanigara. Tidak saja kekuatannya yang maha besar, yang telah dirasakannya pada saat pergelangannya ditangkap. Namun ternyata orang itu ahli pula mengendarakan kuda. Karena itu, ia merasa bahwa usahanya menghalang-halangi orang itu pasti akan sia-sia. Tetapi dengan demikian setidak-tidaknya ia sudah berhasil memperpanjang waktu, meskipun hanya sebentar. Karena itu ketika ia melihat kuda Kebo Kanigara itu sekali lagi berputar ke arahnya, cepat-cepat ia meloncat ke dalam gerumbul di tepi jalan dengan suatu suitan nyaring. Bersamaan dengan itu anak buahnya pun segera berloncatan meninggalkan gelanggang seperti anak ayam yang bersembunyi melihat di udara ada seekor elang. Kebo Kanigara tidak mau membuang waktu lagi. Cepat-cepat ia memutar kudanya, dan dengan cepat pula ia mengajak kawan-kawannya menuju ke perkemahan. ”Ayolah kita tinggalkan tempat celaka ini. Tidak ada waktu untuk mengurusi Lawa Ijo. Mudah-mudahan Mahesa Jenar tidak terlambat sampai.”

Setelah itu, maka kembali mereka berpacu. Meskipun jarak lurus ke perkemahan itu tidak jauh lagi, namun mereka terpaksa melingkar-lingkar menuruti jalan yang dapat mereka tempuh dengan kuda-kuda mereka. Kembali terdengar deru kaki kuda memenuhi lembah, memukul-mukul lambung bukit untuk kemudian dilontarkan kembali seakan-akan beratus-ratus ekor kuda berderap bersama di sekitar lembah itu.

Sementara itu, di perkemahan, Mahesa Jenar telah berdiri diantara mereka yang sedang berjuang melawan Pasingsingan. Pada saat itu, meskipun mata Pasingsingan tidak jelas tampak karena terbalut oleh topeng kasarnya, namun terasa betapa tajamnya ia memandang Mahesa Jenar dari ujung kakinya sampai ke ujung ikat kepalanya. Sebenarnya bagi Pasingsingan, yang menilai Mahesa Jenar seperti beberapa tahun yang lalu, tidak demikian terpengaruh atas kehadirannya.

Pasingsingan merasa bahwa sekalipun dengan Mahesa Jenar, pekerjaannya tidak akan bertambah berat, meskipun ia mempertimbangkan juga kemungkinan lain, karena anak muda, murid Mahesa Jenar itu. Tetapi bagaimanapun juga, Pasingsingan masih menganggap orang itu termasuk dalam gerombolan kelinci-kelinci yang tak tahu diri. Tetapi yang mengejutkan Pasingsingan, adalah sapa yang telah diucapkan oleh Mahesa Jenar itu. Dari mana dia mendengar bahwa yang ada sekarang adalah Pasingsingan muda, yang pernah bernama Umbaran. Karena itu dengan kemarahan yang masih menyala-nyala di dalam dadanya terdengar suaranya yang berat, ”Mahesa Jenar, kalau aku tidak salah dengar, adakah kau tadi menyebut Pasingsingan muda yang pernah bernama Umbaran?” ”Ya,” jawab Mahesa Jenar singkat. ”Hem…” geram Pasingsingan, kemudian ia bertanya, ”Siapakah yang kau maksud dengan nama itu?”

Mendengar pertanyaan itu Mahesa Jenar tertawa. Sekarang ia sudah tidak lagi gelisah, justru setelah ia berdiri berhadapan dengan Pasingsingan, diantara orang-orang yang namanya tergores hatinya. Ia tidak tergesa-gesa menjawab pertanyaan Pasingsingan itu, tetapi sekali lagi ia meyakinkan, apakah orang-orang di perkemahan itu masih lengkap. Ketika sekali lagi matanya menyambar Arja Salaka, Wilis, kemudian Endang Widuri dan seterusnya Mantingan, Wirasaba dan Jaladri, hatinya menjadi semakin tenang. Ia merasa bahwa kehadirannya tidak terlambat. Kalau orang-orang itu masih lengkap, maka pasti Pasingsingan belum berhasil berbuat sesuatu atas orang-orang Banyubiru. Melihat sikap Mahesa Jenar itu Pasingsingan menjadi semakin marah. Dengan membentak ia mengulangi pertanyaan sekali lagi, ”Mahesa Jenar, siapakah yang kau maksud dengan nama-nama itu?” Sekali lagi Mahesa Jenar tertawa, jawabnya, ”Tuan, aku pernah berdiri di hadapan Tuan beberapa tahun yang lalu di alun-alun Banyubiru bersama-sama dengan Kakang Gajah Sora dan bersama-sama dengan seorang sebaya dengan Tuan, yaitu Ki Ageng Pandan Alas. Pada saat itu aku mendengar betapa orang tua itu meragukan sahabat lamanya yang bernama Pasingsingan. Pernahkah Tuan mendengar ceritanya itu?” ”Hem…” Sekali lagi Pasingsingan menggeram. Tetapi ia masih mencoba menahan diri. Ia ingin mendengar dari mana Mahesa Jenar mengetahui dan kemudian membuat sebutan Pasingsingan muda. Karena keinginannya untuk mengetahui itulah kemudian ia bertanya lebih lanjut, ”Adakah ceritanya itu menarik?” ”Entahlah,” jawab Mahesa Jenar.

”Tetapi ceritanya itu ada sangkut pautnya dengan nama yang Tuan tanyakan itu.”

”Ceritanya harus dimulai dari ujungnya,” jawab Mahesa Jenar. ”Pasingsingan sehabat Pandan Alas itu ternyata pelupa. ia tidak ingat lagi, kapan dan bagaimana ia mula-mula bertemu dengan Ki Ageng Pandan Alas.” ”Aku peringatkan sekali lagi Mahesa Jenar. Jangan mengigau. Dan ingatlah dengan siapa kau berhadapan,” potong Pasingsingan semakin marah.

”Jangan marah Tuan,” sahut Mahesa Jenar, ”Bukankah Tuan ingin mengetahui  siapakah yang aku maksud dengan Pasingsingan muda yang bernama Umbaran itu? Nah, dengarkan kelanjutan cerita itu. Setelah aku bertemu dengan Tuan beberapa tahun lalu di alun-alun Banyubiru itu, aku bertemu pula, yang aku sangka adalah Tuan. Tetapi aku keliru. Orang yang aku sangka Tuan itu, belum pernah bertemu dengan aku sebelumnya. Bahkan ia sama sekali tidak bersikap memusuhi aku seperti Tuan. Dan orang itu juga bernama Pasingsingan.” ”Bohong!” teriak Pasingsingan tiba-tiba. ”Dengar dahulu Tuan…” Mahesa Jenar melanjutkan tanpa memperdulikan teriakan Pasingsingan. ”Aku benar bertemu dengan Pasingsingan satu lagi.” Pasingsingan masih berusaha menahan dirinya. Ia ingin mendengar di manakah Mahesa Jenar bertemu dengan Pasingsingan yang satu itu. Kemudian terdengarlah Mahesa Jenar meneruskan, ”Apakah Tuan tidak percaya?-

”Hem….” Pasingsingan tidak menjawab, tetapi yang mendengar hanyalah dengusnya yang bernada rendah. ”Pasingsingan itu aku temui di Pudak Pungkuran,” sambung Mahesa Jenar. Pasingsingan masih berdiam diri. ”Bahkan di sana ada tidak hanya satu Pasingsingan. Tetapi tiga,” Mahesa Jenar meneruskan. ”Tiga…?” ulang Pasingsingan hampir berteriak. Tetapi kemarahannya sudah menggelegak sampai di kepalanya. Ia merasa seolah-olah Mahesa Jenar hanya mau mempermainkan dirinya, atau memperpanjang waktu untuk menanti kawan-kawannya yang masih berada di perjalanan. Sebab Pasingsingan yang cerdik itupun segera mengetahui, bahwa Mahesa Jenar pasti pergi mendahului rombongan yang dicegat Lawa Ijo di perjalanan. Karena itu dengan marahnya ia menggeram, ”Nah, sekarang aku tidak mau mendengar lagi. Bersiaplah dan bertempurlah bersama-sama. Umur kalian tidak akan lebih daripada saat bintang waluku mencapai ujung cemara itu.”

Tetapi Mahesa Jenar seperti tidak mendengar kata-kata Pasingsingan itu dan berkata terus, ”Dua orang Pasingsingan sebaya dengan Tuan, sedang yang seorang lagi agaknya telah lebih tua, meskipun masih tampak segar.

Dari mereka aku mendengar bahwa selain dari tiga Pasingsingan itu masih ada satu lagi yang memisahkan diri dari pergaulan antar Pasingsingan itu. Orang yang memisahkan diri itulah Pasingsingan yang paling muda dan bernama Umbaran.”

Pasingsingan yang sudah siap untuk meloncat menyerang mereka dengan pisau belatinya yang bernama Kyai Suluh itu menjadi urung. Dadanya yang terbakar oleh kemarahannya itu menjadi berdebar-debar. Dengan penuh kecurigaan ia bertanya menyelidiki, ”Siapa itu…?” Suara itu cukup garang, namun terasa betapa ia menjadi cemas oleh kata-kata itu. ”Adakah mereka hanya mengaku diri?” sahut Mahesa Jenar pura-pura. ”Tentu,” Pasingsingan menegaskan, ”Tak ada duanya di dunia ini. Pasingsingan hanyalah seorang. Dan akulah satu-satunya Pasingsingan itu.”

Mahesa Jenar tertawa pendek. Katanya, ”Ternyata Tuan yang menamakan diri Pasingsingan itu, tidak mempunyai banyak pengertian tentang nama Tuan. Agaknya pengertianku tentang Pasingsingan justru lebih banyak dari Tuan. Aku pernah mendengar seorang jujur setia, yang mengantar perjalanan Prabu Brawijaya Pamungkas, ya Pasingsingan. Aku kenal seorang sakti yang bertapa mengasingkan diri, yang juga bernama Pasingsingan.  Aku kenal ketiga-tiga muridnya, yang kemudian berebut gelar itu. Namanya Radite, Anggara dan yang satu Umbaran.”

Terdengar Pasingsingan menggeretakkan giginya. Namun Mahesa Jenar berkata terus, ”Sayang bahwa Pasingsingan yang sekarang memiliki tanda-tanda kekhususannya adalah Pasingsingan yang sebenarnya tidak berhak atasnya.” Pasingsingan sudah tidak dapat menguasai dirinya lagi. Dengan penuh kemarahan sekali lagi ia berteriak, ”Tutup mulutmu, dan matilah bersama-sama dengan orang-orangmu yang tak tahu diri.”

Ketika Pasingsingan sudah melangkah setapak maju, Mahesa Jenar pun melangkah maju. Mantingan, Wirasaba, Wilis, Arya Salaka, Endang Widuri dan Jaladri ternyata telah bergerak pula. Tetapi dengan isyarat Mahesa Jenar mencegah mereka. Kemudian terdengar ia berkata, ”Apakah untung kami untuk bertempur bersama-sama, Pasingsingan…? Aku kira lebih baik apabila kita menunjukkan kejantanan diri. Biarlah siapa diantara kita yang sudah puas mengenyam pahit asin penghidupan ini mencoba mempertaruhkan diri. Kalau kau menang atasku, biarlah kau dapat menikmati kemenanganmu, dan kalau sebaliknya, biarlah aku dapat menikmati kemenanganku sebagai hasil dari sikap jantan.” Mantingan menjadi cemas mendengar kata Mahesa Jenar itu, sehingga tanpa sesadarnya terloncatlah dari mulutnya, ”Adi Mahesa Jenar, bukankah yang berdiri di hadapan kita ini Pasingsingan, guru Lawa Ijo?” Mahesa Jenar tahu sepenuhnya, apa yang bergolak di dalam dada Mantingan. Mantingan masih menilai dirinya seperti masa terakhir mereka bertemu, pada saat mereka berlima bertempur melawan tokoh-tokoh gerombolan hitam di Rawa Pening. Tetapi ia tidak sempat memberinya penjelasan, karena kemudian Pasingsingan juga menganggap kesombongan Mahesa Jenar. ”Mula-mula aku ingin membunuh kalian dengan senjataku ini, supaya kalian tidak tersiksa pada saat terakhir, tetapi karena kesombonganmu, aku ingin melihat kau menderita pada saat terakhir itu. Aku akan membunuhmu dengan tanganku. Akan aku patahkan anggota badanmu satu demi satu. Aku ingin melihat kau kesakitan dan berteriak-tariak minta ampun.” Semua yang mendengar ancaman itu, tegaklah bulu roma mereka. Cara paling keji telah dirancangnya oleh Pasingsingan. Tetapi mereka tidak berani melanggar larangan Mahesa Jenar, sebab dengan demikian, mereka akan dapat menyinggung perasaannya. Tetapi bagaimanapun juga, mereka tetap siap dengan senjata mereka, sebab kalau benar-benar Pasingsingan akan melakukan ancamannya itu, tidak mungkin bagi mereka, untuk membiarkan hal itu terjadi.

Sesaat kemudian Pasingsingan, yang ingin membunuh Mahesa Jenar dengan tangannya itu menyarungkan pisau belatinya. Dan kemudian dengan sikap yang mengerikan ia perlahan-lahan mendekati Mahesa Jenar yang berdiri tegak seperti sebuah batu karang yang kokoh kuat, tak tergoyahkan oleh badai dan  arus oleh deru gelombang. Pasingsingan heran juga melihat sikap dan ketenangan Mahesa Jenar. Tetapi di matanya, Mahesa Jenar tidak lebih dari seorang anak-anak yang besar kepala. Karena itu, ketika ia sudah berdiri selangkah di hadapan Mahesa Jenar yang belum beranjak dari tempatnya, menyerangnya dengan acuh tak acuh saja. Sebuah pukulan diarahkan ke wajah Mehasa Jenar. Tetapi meskipun dalam sikap acuh tak acuh, namun gerakan Pasingsingan itu cukup menggoncangkan dada mereka yang melihatnya.

Mahesa Jenar pun mengetahui, bahwa Pasingsingan memukulnya dengan acuh tak acuh. Tetapi ia tahu pula bahwa tangan Pasingsingan itu seolah-olah mengandung bisa yang sangat berbahaya. Karena itu, ia tidak mau dikenai oleh pukulan itu.

Bahkan kemudian ia mengharap agar Pasingsingan menjadi marah, dan bertempur sepenuh tenaganya. Ia mengharap, bahwa dengan ilmu yang telah didalami sampai ke intinya itu, ia akan dapat setidak-tidaknya mengimbangi kekuatan Pasingsingan.

Karena itu, ketika Pasingsingan memukulnya dengan sikap acuh tak acuh, maka dengan sikap acuh tak acuh pula Mahesa Jenar menghindari pukulan itu. Bahkan seperti orang yang menggeliat sehabis bangun tidur, tanpa mengubah letak kakinya. Namun karena demikian, sambaran tangan Pasingsingan itu hampir-hampir saja menyentuh kulitnya, bahkan sambaran anginnya serasa betapa kerasnya pukulan yang demikian saja dilontarkan. Semua yang menyaksikan peristiwa itu, hatinya berdesir copot. Mula-mula dada mereka menjadi tegang, seolah-olah tak sempat untuk menarik nafas. Tetapi kemudian mereka heran melihat sikap Mahesa Jenar. Kenapa ia sedemikian beraninya bersikap acuh tak acuh saja. Namun yang mereka saksikan, adalah pukulan Pasingsingan itu benar-benar tidak mengenainya.

Yang paling heran dari semuanya adalah Pasingsingan sendiri. Seolah-olah ia tidak percaya pada penglihatan matanya, bahwa Mahesa Jenar dapat menghindari pukulannya hanya dengan menggeliat saja. Namun ternyata hal itu benar-benar telah terjadi. Karena itu marahnya sampai ke ujung ubun-ubunnya. Sekali lagi, ia merasa direndahkan oleh orang yang baginya sama sekali tak berarti.

Namun, Pasingsingan tidak segera mengulangi serangannya. Bahkan kemudian ia berdiri saja tertolak pinggang. Untuk kemudian memperdengarkan suara tertawanya. Suara tertawa yang mengerikan, dilontarkan dengan lembaran ilmu Gelap Ngampar. Suaranya menggetarkan seolah-olah menggoncangkan dunia, menggetarkan setiap dada orang yang mendengarkannya. Suara itu terdengar nyaring bahkan merontokkan daun-daun yang tidak sanggup lagi berpegangan lebih erat lagi pada dahannya.

Semua orang yang mendengar suara tertawa itu terkejut. Segera mereka berloncatan mundur, untuk mengurangi tekanan udara yang seperti akan membelah dada mereka. Dengan penuh tenaga dan pemusatan kekuatan batin segera mereka berjuang melawan ilmu Gelap Ngampar itu.

Demikian dahsyatnya ilmu itu, sehingga mereka yang mendengarnya menjadi mengigil seluruh tubuhnya. Perlahan-lahan terasa darahnya seolah-olah membeku, dan segenap tulang-tulangnya terlepas dari sendi-sendinya. Yang mula-mula sekali tidak kuat melawan pengaruh tertawa itu adalah Jaladri. Seperti orang kehilangan segenap tenaganya ia jatuh tertunduk. Canggahnya terlepas dari tangannya, yang kemudian dengan sekuat-kuat sisa tenaganya ditekankannya tangan itu ke dadanya, seolah-olah untuk menjaga agar isi dadanya itu tidak rontok.

Wirasaba pun telah menggigil dengan kerasnya. Ia masih mencoba bertahan pada tangkai kapaknya. Demikian pula yang lain, semakin lama menjadi semakin kehilangan tenaga.

MahesaJenar pun merasakan akibat dari Gelap Ngampar itu. Ia pernah mengalami serangan serupa, beberapa tahun lalu di alun-alun Banyubiru. Untunglah bahwa pada saat itu hadir Ki Ageng Pandan Alas yang dapat melawan Gelap Ngampar itu dengan suara tembangnya, yang sebenarnya berlandaskan pada ilmu yang dinamai Sapu Angin.

Tetapi bagi Mahesa Jenar, akibat dari serangan Gelap Ngampar itu kini terasa berbeda sekali dengan serangan yang dialaminya lima tahun yang lampau. Suara tertawa itu kini tidak demikian berpengaruh pada dirinya, seolah-olah dadanya sudah berlapis baja, akibat dari perjuangannya, menguasai diri, bahkan  ia telah berhasil meragakan sukma di dalam gua di Karang Tumaritis. Akibat daripadanya ternyata dahsyat sekali. Kecuali ia telah berhasil menemukan inti dari ilmu perguruan Pengging, lahir-batinnya juga sudah tertempa kuat sekali.

Bahkan Mahesa Jenar telah menemukan kekuatan-kekuatan yang tak pernah dikenalnya di dalam tubuhnya. Kekuatan yang melampaui kekuatan manusia biasa. Yang tak dapat diketemukan dalam pengamatan wajar dari seorang ahli sekalipun, karena kekuatan-kekuatan itu langsung diterima dari sumbernya. Inilah ciri adanya kekuasaan yang tak kasatmata. Kekuasaan dari Yang Mahasa Kuasa. Sehingga karena itu pulalah maka peristiwa-peristiwa di dunia ini betapapun dirancang oleh manusia dengan cermatnya, sebagaimana kewajiban manusia adalah berusaha, namun akhirnya penentuannya adalah di tangan Yang Maha Kuasa.

Dengan demikian, maka Mahesa Jenar sama sekali tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh ilmu Gelap Ngampar itu. Tetapi ketika ia menoleh kepada kawan-kawannya ia menjadi terkejut sekail. Dadanya berguncang cepat. Sebab ia melihat hampir tak seorangpun dapat bertahan. Mereka telah hampir kehilangan kekuatan masing-masing sebagai akibat dari tekanan ilmu Gelap Ngampar yang langsung mempengaruhi urat syaraf mereka.

Karena itu Mahesa Jenar menjadi bingung. Ia tidak memiliki ilmu seperti yang dimiliki oleh Pandan Alas. Meskipun daya tahannya sendiri barangkali tidak kalah dengan daya tahan Pandan Alas, namun untuk membantu orang lain, melenyapkan pengaruh Gelap Ngampar itu adalah sulit baginya. Dalam pada itu teringat pula olehnya, pengasuh yang serupa di Pulau Hantu di Laut Kuning.

Menurut pendengaran Mahesa Jenar, di Pulau Hantu itu sering juga terdengar suara yang tertawa demikian mengerikan sehingga kadang-kadang para pelaut yang membawa kapalnya lewat di dekat pulau itu dapat menjadi gila. Kehilangan tenaga dan akal. Ada yang bahkan menjadi lemas dan mati. Yang lebih mengerikan lagi ada diantara mereka menjadi saling berkelahi dan saling membunuh.

Untuk sementara Mahesa Jenar tidak tahu bagaimana dapat menolong kawan-kawannya dari serangan yang aneh itu. Tetapi kemudian ia menemukan suatu cara yang mungkin dapat dilakukan. Kalau sumber suara tertawa itu dapat dihentikan, ia mengharap pengaruhnya pun akan lenyap sebelum sampai ke puncaknya. Dengan demikian maka segera ia berdiri, dan dengan sigapnya ia melontarkan dirinya langsung menerjang dada Pasingsingan yang terbuka.

Pasingsingan terkejut melihat serangan itu. Sejak semula ia sudah heran melihat Mahesa Jenar dapat mempertahankan dirinya dari serangan Gelap Ngampar, meskipun ia telah memperketat serangan itu. Bahkan kemudian Mahesa Jenar dengan derasnya menyerang dadanya. Meskipun demikian, serangan Mahesa Jenar itu bagi Pasingsingan hanya dapat menambah kemerahannya saja. Ia menganggap bahwa perbuatan itu adalah perbuatan bunuh diri. Karena itu dengan tetap melancarkan serangan Gelap Ngampar, Pasingsingan menyilangkan tangannya di muka dadanya untuk menangkis serangan Mehasa Jenar.

Tetapi ketika kemudian terjadi benturan antara serangan Mahesa Jenar dengan pertahanan Pasingsingan, terbukalah mata hantu berjubah abu-abu itu, bahwa lawannya bukanlah termasuk dalam gerombolan kelinci yang tidak tahu diri.

Kerena Pasingsingan tidak mempergunakan segenap kekuatannya, maka dalam benturan itu ia telah terdorong surut beberapa langkah. Sedang Mahesa Jenar sendiri, terpental selangkah mundur. Peristiwa yang tak terduga-duga itu telah menggoncangkan dada Pasingsingan. Heran, marah, dendam, bercampur baur melingkar-lingkar di dalam dadanya. Dalam pada itu, karena benturan yang tak terduga-duga itu, terputuslah suara tertawanya. Ia terpaksa mengerahkan segenap tenaganya untuk menjaga keseimbangan tubuhnya yang hampir-hampir saja terdorong jatuh. Tetapi kemudian dengan sigapnya Pasingsingan pun telah berhasil menguasai keseimbangannya kembali. Seperti sebatang pohon raksasa ia kemudian berdiri tegak. Giginya gemeretak, dadanya mengombak seperti akan meledak. Sekali lagi matanya yang tersembunyi di belakang lubang topengnya itu memandang Mahesa Jenar dengan tajamnya. Kekuatan apakah yang telah membantunya, sehingga ia mampu melawan aji Gelap Ngampar dan sekaligus memberinya tenaga yang luar biasa besarnya..?

HANYA dalam waktu kira-kira lima tahun saja, sejak pertemuan mereka di Rawa Pening, kemampuan Mahesa Jenar telah sedemikian jauh menanjak. Pada saat itu, Mahesa Jenar berlima, melawan Pasingsingan dan Sima Rodra tua berdua, seolah-olah merupakan lima ekor tikus sakit-sakitan melawan dua ekor kuncing yang garang. Sekarang tiba-tiba salah seekor tikus itu telah berubah menjadi serigala, yang sedang menerkam salah seekor kucing yang garang itu.

Tetapi Pasingsingan adalah seorang yang telah kenyang makan garam sehingga segera dapat mengendalikan dirinya. Kini ia benar-benar  menghadapi keadaan yang cukup berbahaya. Dengan benturan yang terjadi, Pasingsingan segera dapat mengetahui, bahwa Mahesa Jenar benar-benar memiliki bekal yang cukup untuk merasa dapat melawannya. Tetapi yang masih perlu diuji, apakah Mahesa Jenar dapat mempergunakan kekuatannya itu untuk melawan ketangkasan, ketangguhan dan kelincahan hantu bertopeng itu.

Karena itu, setelah beberapa lama Pasingsingan berdiri tegak mengawasi Mahesa Jenar, terdengarlah suaranya menggeram, Mahesa Jenar, agaknya kau telah mendapat tenaga dari hantu penjaga Rawa Pening itu. Dan karena itulah kau merasa mampu untuk bertempur seorang lawan seorang dengan Pasingsingan. Setelah kau membual dengan ceritera tentang Pasingsingan yang berbelit-belit itu, sekarang kau benar-benar ingin mengadu tenaga. Mengadu liatnya kulit, kerasnya tulang. Tetapi kau jangan merasa gembira, karena kau berhasil mendorong aku mundur beberapa langkah. Tetapi kini aku akan maju lagi, dan tak seorangpun dapat mencegahnya.” Mahesa Jenar kini melihat, bahwa Pasingsingan telah memutuskan untuk bertempur dengan sepenuh tenaganya. Karena itu iapun segera bersiap. Dengan penuh kewaspadaan Mahesa Jenar mengikuti setiap gerakan Pasingsingan, meskipun sepintas lalu ia masih sempat untuk mengerling kepada kawan-kawannya. Ternyata, ketika serangan Gelap Ngampar itu terputus sebelum sampai ke puncaknya, pengaruhnyapun terputus pula. Dengan demikian, meskipun perlahan-lahan, namun mereka yang dikenai oleh aji itupun terbebas pula. Mantingan, Wilis, Arya, Widuri, Wirasaba dan bahkan Jaladri, perlahan-lahan dapat menemukan kesadaran serta kekuatan mereka kembali. Mereka kini sudah tidak menggigil lagi, meskipun terasa dada mereka masih bergetar dan jantung mereka masih berdegupan. Mantingan, Wilis Arya, Widuri dan Wirasaba telah mulai dapat melihat apa yang telah terjadi di hadapan mereka.

Mereka mulai bertanya-tanya, apakah yang akan terjadi seterusnya. Yang paling cemas diantara mereka adalah Mantingan. Meskipun tangannya masih gemetar, namun ia telah mencoba menggenggam trisulanya erat-erat. Sementara itu Pasingsinganpun telah bersiap sepenuhnya. Dengan menggeram ia melompat menyerang Mahesa Jenar. Tidak dengan sikap acuh tak acuh, tetapi kini ia benar-benar bertempur untuk segera dapat membinasakan lawannya. Namun Mahesa Jenar pun telah bersiap. Ia telah mengalami, meskipun mulanya tidak bersunggu-sungguh, namun akhirnya ia harus berjuang sekuat-kuatnya, pada saat ia harus bertempur melawan Anggara. Meskipun perkembangan ilmunya kemudian berbeda, namun Anggara dan Umbaran telah menghisap ilmunya dari sumber yang sama. Sehingga dengan demikian, masih nampak juga persamaannya, apabila salah seorang dari mereka itu tidak sengaja untuk menyembunyikan diri dalam gerak-gerak lain yang diciptakannya kemudian. Demikianlah maka sesaat kemudian berkobarlah perang tanding yang maha dahsyat. Pasingsingan yang telah menggemparkan tlatah Demak dengan perbuatan-perbuatannya yang mengerikan, baik yang dilakukannya sendiri maupun yang dilakukan oleh muridnya, melawan seorang yang telah berhasil menekuni ilmunya sampai ke intinya. Meskipun Pasingsingan jauh lebih dahulu dari Mahesa Jenar, namun ternyata dengan satu loncatan, Mahesa Jenar telah berhasil menjusulnya. Serangan-serangan Mahesa Jenar ternyata sama sekali tidak kalah berbahayanya dari serangan-serangan hantu berjubah itu.

Sekali-kali terjadilah benturan-benturan yang keras. Dan dalam keadaan yang demikian itulah, Mahesa Jenar menjadi semakin yakin pada dirinya, bahwa Pasingsingan bukanlah hantu yang menakutkan dan tak dapat dikalahkan.

Pasingsingan semakin lama menjadi semakin terbakar hatinya. Kalau semula ia baru dapat mengukur kekuatan Mahesa Jenar, namun kemudian ia terpaksa melihat kenyataan, bahwa Mahesa Jenar tidak saja bertambah kuat lahir dan batin, namun iapun mampu pula mempergunakan kekuatannya itu sebaik-baiknya. Sebagai seorang murid Pasingsingan tua, Pasingsingan itu telah mendengar dan mendapat petunjuk-petunjuk tentang bermacam-macam perguruan. Juga perguruan Pengging yang terkenal. Kini ia harus mengalami betapa salah seorang murid dari Pengging itu telah mampu melawannya. Pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit. Pasingsingan menjadi semakin heran melihat keterampilan lawannya. Tetapi karena itu pula ia merasa seakan-akan dirinya dihadapkan pada suatu ujian, apakah ia masih berhak memakai gelar Pasingsingan untuk seterusnya. Disamping kenyataan itu, di dalam dadanya bergolak pula berbagai pertanyaan tentang Mahesa Jenar. Dari manakah ia pernah mendengar cerita tentang Pasingsingan tua, tentang Radite, Anggara dan Umbaran…? Darimana pula ia mengetahui bahwa yang berdiri di hadapannya kini adalah Pasingsingan yang sebenarnya tidak berhak memakai tanda-tanda kekhususannya…? Pasingsingan itupun kemudian menjadi cemas bahwa sebenarnya rahasia tentang dirinya telah terbuka. Bahkan kemudian ia menduga bahwa Radite atau Anggara-lah yang sengaja mengabarkan tentang rahasia itu. Tetapi apakah Mahesa Jenar pernah bertemu dengan mereka berdua?

Tiba-tiba kemarahan Pasingsingan menjadi semakin berkobar-kobar di dalam dadanya. Orang yang dapat berceritera tentang Pasingsingan ini harus dimusnahkan, supaya rahasia itu dibawanya mati.

Pasingsingan bertempur semakin dahsyat. Jubahnya  berkibar-kibar di belakang punggungnya seperti sayap. Di dalam kelam, tampaklah Pasingsingan seperti kelelawar raksasa yang terbang menyambar-nyambar dengan jarinya yang berkembang mengerikan. Tetapi lawannya adalah seekor banteng yang tangguh. Semakin banyak peluh mengalir dari tubuh Mahesa Jenar, semakin segarlah tubuhnya. Bahkan kemudian ia pun bertempur semakin tangguh. Ketika Pasingsingan menyerangnya semakin dahsyat, Mahesa Jenar pun bertempur benar-benar seperti banteng ketaton.

Dalam keadaan yang berbahaya sedemikian itu, Pasingsingan tidak sempat untuk meneliti gerakannya sendiri satu demi satu, seperti pada saat Anggara bertempur melawannya. Karena itu semakin lama, gerak-gerak mereka berdua, Umbaran yang berjubah Pasingsingan dan Anggara, menjadi semakin rapat persamaannya. Dengan demikian Mahesa Jenar dapat mengenal gerak-gerak itu kembali, yang khusus dapat dilihatnya dalam gerakan-gerakan pertahanan yang rapat, meskipun apa yang dilakukan oleh Pasingsingan ini tampak lebih kasar.

Bahkan sekali-kali Mahesa Jenar ingin mempengaruhi pikiran lawannya. Meskipun tidak sempurna, namun dalam saat-saat yang sedemikian bersahaja, Mahesa Jenar mencoba-coba menirukan gerak-gerak itu. Bahkan gerak-gerak yang belum dilakukan oleh Pasingsingan. Melihat gerak-gerak khusus Pasingsingan itu dapat pula dilakukan oleh Mahesa Jenar, meskipun tidak sempurna, Pasingsingan menjadi semakin heran dan gelisah. Karena itu Pasingsingan memastikan bahwa Mahesa Jenar pernah bertemu dengan Radite atau Anggara. Dengan demikian ia yakin pula bahwa rahasianya benar-benar telah diketahui oleh lawannya itu.

Dalam pada itu, Pasingsingan mengumpat pula di dalam hati. Bahwa dengan demikian Radite tidak memegang janjinya. Orang itu telah berjanji pada saat tukar-menukar antara tanda kekhususan serta pusaka-pusaka Pasingsingan dengan gadis yang memintanya, terjadi beberapa puluh tahun yang lalu. Tetapi apapun yang dilakukan, Pasingsingan tidak berhasil untuk menguasai lawannya. Jangankan membunuhnya, menyentuhnya pun semakin lama menjadi semakin sulit. Dalam tingkatan ilmu yang seimbang, Mahesa Jenar masih memiliki kelebihan. Umurnya yang jauh lebih muda, sehingga pembawaan kodrat alamiah telah menolongnya. Kalau semula Mahesa Jenar sama sekali tidak berdaya melawan orang-orang tua adalah karena tingkat ilmu jaya kawijayan guna kasantikan orang-orang tua itu jauh lebih melampaui ilmunya. Tetapi sekarang apa yang telah dicapainya tidak kurang dari apa yang dimiliki oleh Umbaran. Dengan demikian, pada umurnya itu, ia memiliki kemenangan-kemenangan.

Hal ini pun dirasakan oleh Pasingsingan. Nafas Mahesa Jenar yang dapat diaturnya dengan baik itu semakin lama tampak semakin mapan dan teratur. Ketenangannya mengamati setiap persoalan dan kesulitan, kecerahan otaknya dalam mengurai setiap masalah, telah menuntunnya sedikit demi sedikit pada keadaan yang lebih baik dari lawannya. Sekali lagi Pasingsingan mengumpat di dalam hati. Ia pun merasakan betapa Mahesa Jenar berhasil mendesaknya perlahan-lahan. Sebagai seorang yang merasa dirinya tak terlawan, hatinya menjadi panas bukan main. Apalagi mengingat gelar yang harus dipertahankan mati-matian. Pusaka-pusaka serta ciri-ciri kekhususan Pasingsingan. Kalau oleh Mahesa Jenar ia sudah dapat dikalahkan, lalu apakah haknya untuk tetap menjadi orang yang ditakuti…? Lebih-lebih lagi apabila orang-orang seperti Pandan Alas, Sora Dipajana, Titis Anganten sampai mengenalnya, bahwa bukan dirinyalah Pasingsingan yang pernah bersahabat dengan mereka itu. Maka ia akan semakin banyak menemui kesulitan dalam usahanya untuk menguasai Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten. Sebab dengan nama Pasingsingan, orang tua itu merasa segan-segan pula bertindak terhadapnya, yang disangkanya Pasingsingan sahabat mereka puluhan tahun yang lampau. Seperti apa yang dilakukan oleh Pandan Alas di alun-alun Banyubiru, yang masih memperlakukannya sebagai sahabatnya. Tetapi tiba-tiba ia teringat, apa yang pernah dialaminya di Rawa Pening. Ketika ia sudah siap membunuh Mahesa Jenar dengan keempat kawannya, muncullah dua orang yang berpakaian mirip dengan Mahesa Jenar dan memberinya pertolongan. Beberapa bulan ia mencoba memecahkan teka teki itu. Namun akhirnya, ketika orang-orang itu sudah tidak pernah dijumpainya lagi, ia menjadi lupa kepada mereka.

Tetapi sekarang tiba-tiba bayangan kedua orang itu muncul kembali. Kalau demikian, kedua orang itu pasti telah menemui Mahesa Jenar dan berceritera tentang dirinya. Ya. Ia pasti sekarang. Orang yang dapat mengalahkannya dengan begitu mudah, orang dapat membebaskan diri dari pengaruh ilmunya Alas Kobar. Orang itu tidak dapat lain daripada Radite dan Anggara.

”Gila!” teriak Pasingsingan tiba-tiba. Mahesa Jenar terkejut mendengar teriakan itu. Tetapi ia bertempur terus. Serangan-serangannya semakin lama semakin deras seperti hujan yang tercurah dari langit disertai prahara yang bergulung-gulung mengerikan.

Pasingsingan akhirnya tidak mau lagi membiarkan dirinya digilas oleh anak-anak yang baru tumbuh. Tiba-tiba ia tidak ragu lagi mengendalikan kemarahannya sehingga ia tidak segan-segan untuk membakar lawannya dengan ilmunya yang dahsyat, Alas Kobar. Sementara itu, Mantingan, Rara Wilis, Arya Salaka, Endang Widuri, Wirasaba dan Jaladri telah hampir sembuh kembali dari akibat serangan Gelap Ngampar, meskipun dada mereka seakan-akan masih terasa berderak-derak. Namun mereka telah dapat berdiri tegak dan dengan penuh kesadaran telah dapat mengikuti pertempuran yang terjadi antara Pasingsingan melawan Mahesa Jenar.

Mantingan yang sama sekali tidak menduga bahwa Mahesa Jenar telah dapat mencapai tingkatan yang sedemikian tinggi dalam waktu singkat, mula-mula tidak percaya pada penglihatannya, tetapi ketika kemudian ia melihat betapa orang berjubah abu-abu itu telah berjuang sedemikian lama dan sungguh-sungguh, tahulah ia bahwa Mahesa Jenar benar-benar tidak sedang bunuh diri. Karena itulah ia menjadi berbangga hati. Kalau semula pada saat Mantingan melihat Rara Wilis, Arya Salaka dan Endang Widuri turut serta melawan anak buah Lawa Ijo, ia telah berbangga hati, lebih-lebih ketika ia terpaku pada suatu kenyataan bahwa Arya Salaka mampu melawan Lawa Ijo dan membebaskan dirinya dari pengaruh serangan panas yang luar biasa dari kelelawar Alas Mentaok itu, kini ia tidak tahu lagi perasaan apa yang berkobar didalam dadanya. Sebagai seorang sahabat yang sejak semula telah mengagumi Mahesa Jenar, ia kini benar-benar bersyukur bahwa sahabatnya itu telah berhasil menempa dirinya menjadi orang yang luar biasa.

Mantingan bersyukur bahwa Mahesa Jenar telah berhasil dalam pembajaan diri itu. Sebab ia tahu pasti, bahwa hasil dari pembajaan diri itu ia akan dilimpahkan di dalam suatu pengalaman kemanusiaan, pengalaman pada tumpah darah. Ia tahu pasti bahwa Yang Maha Kuasa telah merestui sahabatnya itu dalam perjuangannya menegakkan kebenaran dan keadilan. Sedang Wirasaba seperti orang yang terpesona. Ia berdiri dengan mulut ternganga. Beberapa tahun yang lalu, hatinya telah digemparkan oleh suatu kenyataan, bahwa Mahesa Jenar mempu menghancurkan sebuah batu hitam dengan tangannya, sedang kapak raksasanya hanya mampu melukai batu itu tidak lebih dari sejengkal. Sekarang ia melihat Mahesa Jenar itu bertempur, yang menurut penglihatannya sangat ruwet.

Wirasaba tidak tahu bagaimana orang dapat bertempur sampai sedemikian. Gerak mereka kadang-kadang seperti singgat. Melenting berloncatan. Kadang-kadang seperti dua ekor burung yang menggelepar dengan kerasnya untuk kemudian seperti seekor harimau menerkam. Tetapi kemudian Pasingsingan itu terlontar kembali karena yang diterkamnya benar-benar mirip seekor banteng jarig melemparkan lawannya dengan tanduk-tanduknya yang kokoh kuat.

Arya Salaka pun terpaku di tempatnya. Sekarang ia benar-benar yakin bahwa gurunya benar-benar orang luar biasa. Namun dalam pada itu menjalar pula hatinya hasrat yang semakin kuat untuk menghisap ilmu sekuat-kuat tenaganya. Ia tahu benar bahwa gurunya itu telah bekerja keras untuknya, melampaui yang seharusnya dilakukan oleh seorang guru. Gurunya itu telah mengasihinya seperti anak sendiri. Bahkan bersedia mati pula untuknya.

Karena itu Arya Salaka berjanji di dalam dirinya sendiri, bahwa ia tidak akan mengecewakan orang itu, dan sekaligus ia akan dapat berbangga diri kepada ayahnya kelak. Berbangga tentang dirinya sendiri, dan berbangga tentang gurunya. Sebab ia tahu bahwa ayahnya telah menyerahkan kedalam asuhan Mahesa Jenar.

Dalam pada itu Endang Widuri sudah mulai tertawa-tawa pula setelah pengaruh Gelap Ngampar lenyap dari dadanya, meskipun ia masih agak pucat. Ia melihat Mahesa Jenar itu seperti melihat ayahnya. Ia menjadi heran, kenapa Mahesa Jenar itu dalam hampir setiap geraknya mirip benar seperti ayahnya. Kalau ayahnya dapat bertempur seperti batu karang yang tak bergerak oleh badai yang bagaimanapun dahsyat, Mahesa Jenar pun kadang-kadang berlaku demikian.

Tetapi kadang-kadang melihat lawannya seperti banjir bandang tanpa dapat dihalangi oleh kekuatan apapun. Pada saat yang lain seperti juga ayahnya Mahesa Jenar mengurung lawannya seperti angin prahara. Meskipun ia hanya melihat ayahnya bertempur dalam latihan-latihan dengan dirinya, dengan Putut Karang Tunggal yang sebenarnya bernama Karebet, namun ia melihat betapa Mahesa Jenar itu memiliki kemampuan yang mirip benar dalam setiap gerak-geriknya.

Tetapi gadis kecil ini tidak tahu bahwa Mahesa Jenar dan ayahnya, Kebo Kanigara, meneguk air dari sumber yang sama. Dan bahwa kedua-duanya telah menguasai ilmunya dengan sempurna, meskipun Kebo Kanigara sedikit lebih mengendap daripada Mahesa Jenar. Orang yang sama sekali tidak tahu bagaimana menilai pertempuran itu adalah Jaladri. Bahkan ia menjadi pening, dan karena itu ia lebih senang menenangkan dirinya daripada bersusah payah mengikuti perang tanding yang tak kenal ujung pangkalnya itu. Berbeda dengan perasaan mereka adalah Rara Wilis. Ia mempunyai kesan tersendiri dari pertempuran itu. Ketika pertempuran itu menjadi semakin seru, iapun menjadi semakin cemas. Meskipun kemudian ia merasa, bahwa Mahesa Jenar memiliki kemampuan yang cukup untuk mengimbangi kekuatan iblis berjubah abu-abu itu, namun setiap serangan Pasingsingan dirasanya seperti serangan pada dirinya sendiri. Setiap sentuhan yang mengenai tubuh Mahesa Jenar, seolah-olah kulitnyalah yang terluka.

Rara Wilis tiba-tiba menjadi cemas, jauh lebih cemas daripada ia sendiri yang bertempur. Ia sama sekali tidak rela kalau laki-laki itu sampai dapat disinggung oleh lawannya. Ia tidak rela kalau laki-laki itu sampai terluka. Ketika Wilis sadar akan perasaannya itu, tiba-tiba warna merah membersit ke pipinya. Ia merasa malu sendiri, meskipun ia yakin bahwa tak seorangpun yang memperhatikannya. Tetapi seolah-olah setiap ujung daun-daun pepohonan di sekitarnya itu tersenyum melihat warna hatinya. Seolah-olah desir angin yang lewat di belakangnya berbisik di telinganya, ”Jangan cemas Rara Wilis, kau tidak akan kehilangan laki-laki itu.”

Tiba-tiba Rara Wilis menundukkan wajahnya dengan tersipu-sipu.

Tetapi dalam pada itu, tiba-tiba arena itu dikejutkan oleh sebuah teriakan nyaring yang terlontar dari belakang topeng kasar Pasingsingan. Bersamaan dengan itu memancarlah udara panas ke segenap penjuru. Ke arah mereka yang sedang terpesona menyaksikan pertempuran itu, sehingga tanpa mereka sengaja, segera mereka berloncatan mundur beberapa langkah. Bahkan Jaladri segera berlindung ke balik sebuah pohon untuk menghindarkan diri dari serangan panas yang luar biasa. Itulah pengaruh dari ilmu Alas Kobar yang dahsyat, yang tidak saja dilontarkan oleh Lawa Ijo, tetapi kini oleh gurunya, Pasingsingan. Alangkah dahsyatnya ilmu itu. Tetapi yang paling dahsyat mengalami serangan itu adalah orang yang dituju. Dalam penerapan ilmu itu tubuh Pasingsingan sendiri seolah-olah telah berubah menjadi bara baja yang panasnya tak terhingga.

Mahesa Jenar terkejut mengalami serangan panas itu. Setiap sentuhan dengan tubuh Pasingsingan, terasa panas yang luar biasa menyengat kulitnya, disamping libatan udara panas di seluruh tubuhnya. Dalam keadaan yang demikian, sadarlah Mahesa Jenar bahwa lawannya telah matek aji yang pernah didengarnya bernama Alas Kobar.

Untuk sementara Mahesa Jenar terpaksa terdesak mundur. Ia mencoba menghindari setiap sentuhan tubuh Pasingsingan. Tetapi dalam keadaan yang demikian, Mahesa Jenar sama sekali tak berniat melarikan diri. Sebagai seorang laki-laki, ia akan menghadapi setiap kemungkinan. Ia merasa menjadi pelindung dari seluruh perkemahan itu. Kalau ia terpaksa melarikan diri, maka ia tak ada artinya sama sekali. Apa saja yang pernah dilakukan dan apa saja yang pernah dipercayakan orang kepadanya. Dalam perjuangan melawan kejahatan tak ada niatnya untuk sekadar menyelamatkan dirinya sendiri, dan membiarkan orang lain binasa karenanya.

Karena itulah maka Mahesa Jenar membulatkan tekadnya. Mengumpulkan segenap kekuatan lahir batinnya, dengan tekad bulat untuk melawan Pasingsingan, betapapun pengaruh panas itu menyengatnya di segenap bagian tubuhnya. Anehnya, bahwa yang terjadi kemudian adalah di luar dugaan. Di luar dugaan Mahesa Jenar sendiri. Ketika ia telah membulatkan tekad, memusatkan segenap kekuatan yang ada padanya, lahir batin, serta pasrah diri setulus-tulusnya kepada Yang Maha Kuasa, maka tiba-tiba terasa, bersama-sama dengan nafasnya yang semakin teratur, sejalan dengan peredaran darahnya, mengalirlah udara segar di dalam tubuhnya. Mahesa Jenar telah mengenal perasaan itu. Ia merasakan seperti aliran kekuatan yang luar biasa, yang dalam keadaan khusus, seperti yang pernah dilakukan apabila ia sedang menerapkan ilmunya Sastra Birawa, merambat dari pusat jantungnya mengalir ke sisi telapak tangannya.

Tetapi kini, dalam pemusatan tekad, untuk melawan libatan udara panas yang mematuk-matuk seluruh permukaan tubuhnya itu, terasa kekuatan dari pusat jantungnya itu mengalir menurut peredaran darah ke segenap bagian, menurut jalur-jalur darah yang paling kecil sekalipun. Terasalah untuk beberapa saat darahnya seperti mendidih. Terjadilah seolah-olah benturan yang sengit di seluruh permukaan kulitnya. Dalam keadaan yang demikian, terganggulah gerak tempur Mahesa Jenar, karena perasaannya dipengaruhi oleh pemusatan kehendak untuk melawan udara panas itu. Maka tanpa setahunya, tiba-tiba serangan Pasingsingan yang dahsyat telah berhasil menyusup diantara jaring-jaring pertahanan Mahesa Jenar, langsung mengenai pundaknya. Serangan itu bukanlah sekadar serangan Alas Kobar, tetapi benar-benar tangan Pasingsingan mengenai pundak itu. Mahesa Jenar yang sedang berjuang melawan Aji Alas Kobar itu terdorong beberapa langkah surut. Tetapi ia adalah seorang yang masak dalam pemusatan kehendak. Meskipun ia terdorong dan bahkan kemudian ia terjatuh, namun ia sama sekali tidak melepaskan diri dari usahanya, membulatkan diri, dalam perlawanannya.

Dalam saat yang demikian itulah, sebenarnya  Mahesa Jenar telah menerapkan ilmunya Sasra Birawa pula. Namun dalam bentuk yang berbeda. Tanpa setahunya sendiri sebelumnya, bahwa sebenarnya ilmunya Sasra Birawa dalam bentuk perlawanan dan pertahanan dapat disalurkan ke segenap bagian tubuhnya. Ke segenap bagian-bagian yang terkecil sekalipun untuk kemudian melawan rangsangan yang betapapun dahsyatnya, yang mencoba mempengaruhi tubuh itu. Tetapi meskipun demikian, ilmu itu tidak dapat menahan dorongan kekuatan yang luar biasa, yang dilontarkan Pasingsingan dengan penuh kemarahan, sehingga Mahesa Jenar jatuh terbanting di tanah setelah terdorong beberapa langkah surut. Mereka yang menyaksikan peristiwa itu, dadanya serasa akan pecah, Mahesa Jenar bagi mereka adalah satu-satunya orang yang dapat diharapkan untuk menyelamatkan perkemahan ini. Ketika mereka melihat betapa Pasingsingan semakin lama semakin terdesak yakinlah mereka bahwa Mahesa Jenar akan dapat melakukan tugasnya dengan baik. Namun tiba-tiba, dalam kabut ilmu Alas Kobar, Mahesa Jenar ternyata dapat dikuasai oleh lawannya, bahkan kemudian dengan suatu serangan jasmaniah, Mahesa Jenar dapat didorongnya jatuh.

PASINGSINGAN tertawa sambil bertolak pinggang, dan dari sela-sela lubang topengnya terdengarlah ia bergumam, ”Hem… aku terpaksa melakukan apa yang telah aku katakan. Mematahkan tulangmu satu demi satu. Aku ingin melihat kau kesakitan dan ingin mendengar kau berteriak minta ampun.”

Mendengar ancaman itu, teganglah semua orang yang berdiri agak jauh dari lingkaran pertempuran itu. Tetapi pastilah bahwa mereka tidak akan tinggal diam. Karena mereka sama sekali tidak mampu untuk mendekati iblis itu, maka mereka menjadi agak bingung, bagaimana cara mereka untuk berjuang bersama-sama, dan kalau perlu mati bersama-sama dengan Mahesa Jenar.

Dalam keadaan yang demikian, tiba-tiba Pasingsingan dikejutkan oleh seleret sinar yang tebal menyambarnya. Karena itu mendadak suara tertawanya terhenti. Dengan lincahnya ia merendahkan dirinya sambil berputar setapak ke samping. Namun belum lagi ia berhenti bergerak, disusullah sinar tebal itu dengan sambaran sinar yang lain. Sekali lagi Pasingsingan terpaksa menghindar. Ketika itu ia kemudian melihat bahwa kedua sambaran sinar itu tidak lain tombak pendek yang melontar dari tangan Arya Salaka, disusul oleh sebatang trisula dari tangan Mantingan, terdengarlah hantu itu menggeram marah. Sekali lagi terdengar ia bergumam, ”Tikus-tikus yang malang. Jangan banyak tingkah. Supaya kau nanti dapat mati dengan tenang.”

Dalam pada itu dada Rara Wilis pun terasa menjadi pepat. Sesaat ia memejamkan matanya. Ia tidak sampai hati melihat Mahesa Jenar terbanting. Tetapi ia tidak mau membiarkan laki-laki itu mengalami cidera. Tetapi  tidak sesadarnya, ia berusaha untuk meloncat mendekati. Namun langkah Wilis pun terhenti ketika tubuhnya serasa hangus terbakar. Tetapi hatinyalah yang lebih dahulu hangus daripada tubuhnya, sebab bagaimanapun juga Mahesa Jenar adalah tempat ia meyangkutkan harapan bagi masa depan. Terdorong oleh perasaan yang tak disadarinya sendiri, yang jauh lebih tebal dari perasaan setiakawan, telah memaksa Rara Wilis untuk tidak mempedulikan diri sendiri. Meskipun tubuhnya serasa terbakar oleh panas yang melampaui panasnya api, ia mencoba juga berjalan setapak demi setapak ke arah Mahesa Jenar, sedang matanya sama sekali tidak mau melepaskan setiap gerak gerik hantu berjubah abu-abu itu. Kalau-kalau tiba-tiba ia meloncat dan menyerangnya.

Tetapi sebalum ia berhasil mencapai laki-laki yang dicemaskan itu, terasa seluruh kulit dagingnya menjadi luluh. Ketika ia maju setapak lagi, ia menjadi kehilangan segenap daya tahannya. Bagaimanapun ia berusaha, akhirnya ia terhuyung-huyung jatuh. Tetapi betapa terkejutnya ketika terasa sepasang tangan menyambarnya. Dan dengan suatu loncatan panjang ia telah dibebaskan dari daerah pengaruh yang berbahaya dari aji Alas Kobar itu. Dengan cemas ia mencoba mengamat-amati, siapakah yang telah menolongnya itu. Sekali lagi ia terkejut kepadanya. Ternyata yang menyelamatkannya dari lingkaran yang berbahaya itu adalah Mahesa Jenar sendiri. Semula ia hampir tidak percaya pada dirinya. Bahkan ia mengira, apakah ia tidak bermimpi atau pingsan atau mati, dan bertemu dengan laki-laki itu di alam lain.

Tetapi perasaan itu segera lenyap ketika terdengar suara Pasingsingan menggeram, ”Setan. Ternyata nyawamu rangkap, Mahesa Jenar.” Mahesa Jenar kemudian meletakkan Rara Wilis dari tangannya. Ternyata daya tahan gadis itu luar biasa pula, sehingga demikian ia menyentuh tanah, demikian ia telah dapat berdiri di atas kedua kakinya sendiri. Ketika ia memandang berkeliling, dilihatnya segenap mata yang memandangnya memancarkan keheranan dan kekaguman. Bahkan seperti sorot mata yang bimbang akan kebenaran penglihatan mereka.

Tiba-tiba dari antara mereka Arya Salaka meloncat berlari ke arah gurunya, kemudian meraba-raba tubuh itu sambil berkata lirih, ”Adakah guru selamat…?”

Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Bagaimana mereka tidak heran, kalau dirinya sendiripun hampir-hampir tidak mengerti atas peristiwa-peristiwa yang dialami. Namun pengenalannya pada getaran-getaran yang memancar dan pepat jantungnya telah memberinya sedikit keterangan, bahwa kekuatan Sasra Birawa-nya telah mengalir dan membendung segenap rangsangan yang menyentuh tubuhnya.

Memang mula-mula Mahesa Jenar merasakan betapa udara panas melibat seluruh tubuhnya. Bagaimana kulitnya serasa terkelupas karena sentuhan-sentuhan tubuh Pasingsingan. Namun sejak ia mulai mengatur diri, memusatkan tekad pada perlawanan atas serangan panas di segenap permukaan tubuhnya, pernafasan yang diaturnya baik-baik seperti apabila ia siap untuk melontarkan ilmunya Sasra Birawa, terasa betapa di dalam tubuhnya terjadi pergolakan-pergolakan yang cepat.

Terasa betapa getaran-getaran dari pusat jantungnya mulai bergerak. Tidak ke sisi telapak tangannya, namun menjalar ke segenap bagian tubuhnya. Dengan demikian, kekuatan di dalam dirinya telah langsung mengadakan perlawanan. Pada saat yang demikian itulah ia merasa sebuah dorongan yang kuat pada pundaknya, disertai suatu gigitan nyeri yang bukan main, sehingga ia terdorong dan terbanting jatuh. Untuk sesaat memang seolah-olah ia kehilangan daya perlawanannya. Tetapi dalam pada itu, getaran-getaran di dalam tubuhnya itu menjadi semakin deras mengalir. Apalagi Mahesa Jenar membiarkan dirinya seperti sebuah batu yang menggelinding karena sebuah dorongan yang kuat tanpa daya perlawanan. Dengan demikian ia dapat tetap pada pemusatan pikiran, mempercepat aliran getaran-getaran dari pusat jantungnya itu, sehingga batu itu sendiri sama sekali tidak mengalami cidera sama sekali.

AKHIRNYA segenap perasaan sakit, nyeri, panas dan segala macam perasaan yang merangsang dari luar tubuhnya, perlahan-lahan menjadi berkurang, bahkan akhirnya menjadi punah sama sekali. Meskipun ia masih berada dalam jarak capai aji Alas Kobar, namun ia tidak lagi merasakan betapa panasnya aji itu, yang semula dirasanya melampaui panasnya bara. Mahesa Jenar tidak segera bangkit. Ia masih mencoba meyakin keadaannya. Karena itulah maka seolah-olah Mahesa Jenar setelah terbanting jatuh tidak mampu lagi untuk tegak kembali.

Mahesa Jenar masih tetap berdiam diri, ketika ia melihat tombak  muridnya menyambar Pasingsingan, disusul oleh sebuah trisula yang terbang secepat kilat. Namun kedua senjata itu sama sekali tidak mengenai sasarannya.

Tetapi ia tidak dapat tetap berbaring di situ, ketika ia melihat Rara Wilis dengan tanpa menghiraukan keadaan diri sendiri, mencoba menerobos lingkaran aji Alas Kobar. Apalagi ketika ia melihat gadis itu menjadi sangat payah dan hampir-hampir saja terjatuh. Dengan sigapnya ia melenting berdiri dan meloncat ke arah Rara Wilis. Untunglah Mahesa Jenar berbuat cepat pada saatnya, sehingga dengan lemahnya Rara Wilis terkulai di tangannya.

Meskipun dalam keadaan yang bagaimanapun juga, namun Rara Wilis yang dengan lemahnya, menyandarkan kepalanya pada dadanya itu, telah menggetarkan perasaannya. Perasaan seorang laki-laki yang sedang mengenyam angan-angan tentang seorang gadis. Mau rasa-rasanya, untuk tidak melepaskan gadis itu dari tangannya untuk seumur hidupnya. Tetapi keadaan itu kemudian hancur terurai oleh geram Pasingsingan. Dan karena itulah maka Mahesa Jenar sadar, bahwa bahaya masih tetap melekat di hidungnya. Maka perlahan-lahan Rara Wilis itu kemudian diletakkan di atas tanah. Mahesa Jenmar menjadi terharu juga, ketika muridnya berlari-lari untuk meraba-raba tubuhnya, seolah-olah mencari-cari apakah ada yang hilang darinya. Dengan penuh perasaan sayang seorang ayah, Mahesa Jenar menepuk kepala anak muda itu sambil menjawab pertanyaan, “Aku tidak apa-apa, Arya. Bukankah anggota badanku masih utuh?” Tetapi mereka tidak bercakap-cakap lebih banyak. Pasingsingan yang melihat Mahesa Jenar itu bangkit kembali dan seolah-olah tidak pernah mengalami sesuatu, menjadi tidak kalah herannya. Tetapi justru dengan demikian hatinya menjadi semakin panas. Ia cemas pada kenyataan, bahwa Mahesa Jenar kini adalah seorang yang memiliki kesaktian yang tinggi. Cemas pada kegagalannya untuk mendapatkan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten yang akan dipergunakan sebagai pancatan, nggayuh kemukten, mencapai impiannya yang indah. Kekuasaan atas gerombolannya, untuk kemudian meningkat pada kekuasaan atas tanah ini. Atas kerajaan Demak.

Namun demikian, terdorong oleh nafsu yang bergelora di dalam dadanya, maka ia merasa, bahwa Mahesa Jenar harus dibinasakan. Ia tidak perlu berfikir lagi, apakah ia harus bersikap jantan atau tidak. Namun tujuannya sudah pasti. Membunuh laki-laki yang menghalang-halangi niatnya. Selama orang yang bernama Mahesa Jenar dan bergelar Rangga Tohjaya itu masih hidup, selama itu pula niatnya akan selalu dirintanginya. Karena itu, maka dengan menggeram penuh kemarahan, berkilat-kilatlah sebuah pisau belati panjang di tangan hantu berjubah abu-abu itu. Ia sudah bertekad untuk membunuh Mahesa Jenar dengan Alas Kobar bersama-sama dengan pusaka Pasingsingan, Kiai Suluh, yang bercahaya kekuning-kuningan.

Melihat Pusaka itu, Mahesa Jenar terkejut. Ia tahu benar betapa berbahayanya pisau belati itu. Pisau belati ciri khusus dari orang yang bernama Pasingsingan, yang diterima turun-temurun dari Pasingsingan tua, Raden Buntara, lewat Radite, yang kemudian karena keteguhan jiwa Radite dapat digoncangkan oleh paras yang cantik, akhirnya pusaka itu jatuh ke tangan iblis yang berbahaya ini.

Demikianlah, maka kini Mahesa Jenar harus berjuang mati-matian. Untunglah bahwa aji Alas Kobar itu sudah tidak berpengaruh atas tubuhnya, sehingga ia dapat memusatkan daya perlawanan terhadap pisau belati Pasingsingan itu. Ketika Pasingsingan sudah siap, Mahesa Jenar segera melangkah maju. Dengan dada tengadah ia berjalan perlahan-lahan, namun dengan penuh kepercayaan pada diri sendiri, penuh kepercayaan pada kekuasaan Tuhan, bahwa pengabdiannya akan mendapat limpahan perlindungan-Nya. Sebab iapun yakin bahwa setiap pengingkaran pada kebenaran, bagaimanapun juga dipertahankan dan diperjuangkan oleh kekuatan apapun, namun tak ada kekuatan yang mampu melawan hukum kebenaran dan keadilan yang digoreskan oleh tangan Yang Maha Adil.

Sekali lagi dada Pasingsingan bergetar melihat sikap Mahesa Jenar. Tenang, namun meyakinkan. Dalam saat yang sekejap itu melingkar-lingkarlah di dalam benak Pasingsingan, bayangan-bayangan dari masa lampaunya dan gambaran dari masa idamannya, yang bergumul pula dengan bayangan-bayangan Pasingsingan-Pasingsingan yang terdahulu, silih berganti. Kemudian sampailah ia pada suatu umpatan yang kotor terhadap Radite dan Anggara. Kepadanyalah ia melimpahkan kesalahan, sebab Umbaran itu menyangka bahwa Mahesa Jenar menjadi masak karena tangan mereka, untuk dijadikan alat membalas sakit hatinya, sebab Radite sendiri terikat dengan suatu perjanjian yang tak akan dilanggarnya. Apalagi ketika ia melihat Mahesa Jenar sama sekali tidak terpengaruh oleh aji andalannya, Alas Kobar. Ketika ia sedang menimbang-nimbang, tiba-tiba bersama dengan desir angin malam yang mengusap daun-daun pepohonan, terdengarlah kembali telapak kaki kuda yang semakin lama semakin dekat. Mahesa Jenar tersenyum mendengar telapak kaki kuda itu. Ia percaya bahwa tak seorangpun dapat menghalangi perjalanan Kebo Kanigara. Kalau orang itu cepat sebelum hantu itu pergi, maka ia mengharap akan dapat menangkap Umbaran itu hidup-hidup. Ia ingin menyerahkannya kepada Pasingsingan tua, untuk mendapat pengadilan.

Pasisingan melihat perubahan wajah Mahesa Jenar itu. Karena itu ia curiga. Ia tidak tahu siapakah yang datang berkuda itu. Dengan penuh perhatian ia mencoba mengetahui, kira-kira berapa orang yang akan datang pula ke tempat itu. Telinganya yang tajam segera dapat mengetahui bahwa derap kuda itu tidak akan lebih dari lima atau enam. Dengan demikian ia dapat mengira-ira kekuatan rombongan itu.

Tetapi karena otak Pasingsingan sedang terganggu oleh bayangan-bayangan yang mencemaskan hatinya, bayangan-bayangan Pasingsingan tua, Radite, dan Anggara, maka tiba-tiba menjalarlah dugaannya kepada salah seorang dari mereka. Apakah di dalam rombongan itu akan datang pula Radite atau Anggara? Atau malah kedua-duanya…? Seandainya bukan mereka sekalipun, semakin banyak orang yang harus dilawannya, semakin kecil pula kemungkinan yang dapat diperoleh untuk memenangkan pertempuran ini. Sebab ia yakin bahwa seandainya ia pun pasti tidak akan tinggal diam.

Karena itu disamping Mahesa Jenar sendiri, kehadiran orang lain di perkemahan itu akan dapat menambah kesulitan bagi Pasingsingan. Apalagi kalau ia mengetahui, bahwa yang datang itu adalah seekor burung rajawali yang perkasa, yang bahkan melampaui keperkasaan Mahesa Jenar, lawannya yang mencemaskan hatinya itu. Karena itulah maka akhirnya dengan kecewa Pasingsingan terpaksa melihat kenyataan-kenyataan itu. Sebagai seekor serigala yang ganas, ia tidak mau mati di dalam kandang kelinci. Maka ketika didengarnya bahwa telapak kuda itu dengan lajunya mendekati perkemahan itu, tiba-tiba Pasingsingan menggeram keras sekali.

Mahesa Jenar pun segera bersiap menghadapi setiap kemungkinan. Matanya tidak bergeser dari ujung pisau belati Pasingsingan yang berwarna kuning kemilau.

Tetapi adalah diluar dugaannya, bahwa tiba-tiba hantu berjubah abu-abu itu seperti terbang melontar mundur, dan dengan kecepatan luar biasa ia memutar tubuhnya dan meluncur seperti dihembus badai. Mahesa Jenar untuk beberapa saat tertegun heran. Karena itulah ia kehilangan waktu untuk mengejarnya. Meskipun kemudian Mahesa Jenar dengan kecepatan yang tak kalah dari kecepatan Pasingsingan meloncat mengejarnya, namun hantu itu telah lenyap di dalam semak-semak, berselimut kehitaman malam. Sementara itu, derap kaki-kaki itu sudah semakin dekat. Dan tiba-tiba dari dalam gelap tersembullah beberapa orang penunggang kuda. Yang paling depan adalah Kebo Kanigara yang masih melekatkan hampir seluruh tubuhnya pada punggung kudanya.

Demikian kuda itu masuk ke  halaman perkemahan itu, dengan sigap para penunggangnya segera menarik kekangnya, sehingga kuda-kuda itu meringkik dan berdiri pada kedua kaki belakang. Demikian kuda itu meletakkan kedua kaki mereka, sedemikian para penunggangnya berloncatan turun.

Ketika Endang Widuri melihat ayahnya datang, segera ia meloncat berlari ke arahnya sambil berteriak, ”Ayah, sayang ayah terlambat.” Melihat putrinya berlari-lari menyongsong, dada Kebo Kanigara serasa tersiram embun. Namun ia menjadi sedikit ragu mendengar kata-kata itu, sehingga terlontarlah pertanyaannya, ”Apa yang terlambat?” Widuri kemudian dengan manjanya memeluk lambung ayahnya sambil menjawab, ”Baru saja kami menonton pertunjukan yang luar biasa.”  ”Pertunjukkan apa?” desak ayahnya tidak sabar.

”Paman Mahesa Jenar bermain sulap melawan tukang sihir berjubah abu-abu,” jawab gadis itu.

Mendengar keterangan Endang Widuri, Kebo Kanigara menarik nafas. Terdengarlah ia berdesis perlahan, ”Pasingsingan…?” Tetapi ia sudah tidak terkejut lagi, sebab ia memang sudah menduga sebelumnya, bahwa guru Lawa Ijo itu berada di perkemahan.

”Di mana pamanmu sekarang?” tanya Kebo Kanigara. ”Paman mengejar tukang sihir itu,” jawab Endang Widuri. Sementara itu yang lainpun telah berdiri mengitarinya. Dengan penuh hormat mereka membungkukkan kepala. ”Adakah kalian selamat?” tanya Kebo Kanigara kepada mereka.

”Atas pangestu Kakang, kami semua selamat. Karena Adi Mahesa Jenar tidak terlambat datang,” jawab Mantingan. Kebo Kanigara masih melihat kesan-kesan yang mencemaskan pada wajah-wajah mereka. Apalagi pada wajah Rara Wilis yang hampir-hampir saja hangus oleh aji Alas Kobar, sedang Widuri itupun masih kelihatan pucat. ”Apa yang sudah dilakukan?” Kebo Kanigara bertanya pula.

Tetapi sebelum Mantingan sempat menjawabnya, terdengarlah Endang Widuri berceritera dengan riuhnya, ”Setan itu bisa menjadikan dirinya panas seperti bara, dan dengan suara tertawa ia dapat merontokkan isi rongga dada. Ah sayang, ayah tidak melihat kami pada waktu itu. Lucu sekali. Pasingsingan itu sama sekali tidak berbuat apa-apa kecuali tertawa. Dan kami semuanya menggigil, bahkan seperti ayam disembelih. Bukankah itu aneh sekali? Untunglah bahwa Paman Mahesa Jenar dapat menghentikannya sebelum jantung kami patah karenanya.”

Mendengar ceritera anaknya, Kebo Kanigara mau tidak mau harus tersenyum. Tetapi kemudian senyumnya terpaksa ditahannya ketika anaknya itu meneruskan, ”Kenapa ayah tersenyum, sedang kami hampir mati karenanya?” ”Bukankah kau sendiri berkata bahwa hal itu adalah lucu sekali?” bantah ayahnya. ”Tetapi ayah jangan tersenyum. Sebaiknya ayah mengucapkan ikut berduka cita. Apalagi Bibi Wilis. Ketika bibi mencoba menolong Paman Mahesa Jenar yang tiba-tiba terbanting karena serangan Pasingsingan itu, agaknya Bibi Wilis nekad melawan udara panas yang memancar dari tubuh tukang sihir jahat itu,” sahut Widuri.

SEKALI lagi Kebo Kanigara tak dapat menahan senyumnya. Tanpa disengaja ia memandang ke arah Rara Wilis yang menundukkan wajahnya. Ia menjadi malu mendengar ceritera gadis kecil itu. ”Aku berkata benar, Ayah…” Widuri meneruskan sambil merengut. ”Paman Mahesa Jenar itupun dapat dijatuhkannya, meskipun kemudian terpaksa bangun kembali.” ”Kenapa terpaksa?” tanya Kebo Kanigara.

”Sebab Rara Wilis hampir terjatuh pula. Kalau tidak, barangkali Paman Mahesa Jenar masih enak-enak berbaring, menikmati hangatnya udara yang memancar dari tubuh Pasingsingan dimalam yang begini dingin,” jawab Widuri. ”Sudahlah… jangan membual,” potong ayahnya. ”Siapa bilang aku membual…?” sahut gadis itu. ”Aku berkata sebenarnya.” Kebo Kanigara masih saja tersenyum. Tetapi kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Melontarlah di dalam benaknya perkataan anaknya itu, ”Paman Mahesa Jenar itupun dapat dijatuhkannya.”

Kemudian kepada Mantingan ia bertanya, ”Apakah Mahesa Jenar selamat?”

”Bagi kami agak sulit untuk dapat mengetahui keadaan sebenarnya. Sebab pertempuran itu berada jauh dalam tingkatan yang tidak dapat kami capai. Meskipun ia masih tetap segar dan bahkan sekarang iblis itu sedang dikejarnya,” jawab Mantingan. Kebo Kanigara mengerutkan keningnya. Ia terkejut ketika tiba-tiba didengarnya kemersik daun didalam semak-semak. Kemudian muncullah dari dalam semak itu, seorang laki-laki yang berjalan perlahan-lahan ke arahnya.

”Mahesa Jenar…” sapa Kebo Kanigara. Mahesa Jenar mengangguk hormat sambil menjawab, ”Ya, Kakang.” ”Bagaimana dengan Pasingsingan?” tanya Kebo Kanigara.

Sembil menggeleng Mahesa Jenar menjawab, ”Aku tak berhasil menangkapnya.” Kembali Kebo Kanigara mengangguk-angguk. Kemudian katanya, ”Tak apalah, bukankah ia tidak berhasil menimbulkan bencana?” ”Pangestu Kakang,” jawab Mahesa Jenar.

”Baiklah…” kata Kebo Kanigara seterusnya, ”Sekarang cobalah, bangunkan orang-orang yang terkena sirep itu. Mungkin pengaruhnya sudah jauh berkurang. Apalagi sumbernya telah pergi pula.” Jaladri, Bantaran dan Penjawi tidak menunggu perintah itu diulangi. Segera mereka pergi berpencaran untuk membangunkan orang-orang yang tertidur nyenyak karena syarafnya dipengaruhi sirep yang disebarkan oleh Lawa Ijo. Sementara itu malam telah sampai di ujungnya. Di kejauhan sudah terdengar ayam hutan berkokok bersahutan. Sedang langit telah diwarnai oleh cahaya perak pagi. Cahaya lintang-lintang telah mulai pudar. Satu-satu mulailah mereka menghilang dari wajah langit yang biru bersih. Angin pagi yang berhembus lemah, menggoncang-goncang daun-daun pepohonan rimba.

”Marilah kita beristirahat,” kata Kebo Kanigara, ”Bukankah kaliah lelah?”

”Semalam aku tidak tidur,” sahut Widuri, ”Karena itu aku akan tidur sehari penuh.”

”Aku tidak percaya,” jawab ayahnya. ”Kenapa?” tanya Widuri.

”Belum lagi matahari sepenggalah, kau pasti sudah bangun dan bertanya apakah sudah ada makan pagi,” jawab ayahnya. Widuri tidak menjawab. Ia hanya mencibirkan bibirnya. Kemudian ia memutar tubuhnya dan berjalan ke pondok yang disediakan baginya. Yang lainpun kemudian berlalu pula ke tempat masing-masing. Mantingan berjalan dengan langkah gontai, sedang Wirasaba seolah-olah tinggal mampu menjerat tubuhnya dengan lemah. Meskipun sebenarnya ia tidak sedemikian parah tenaganya, namun peristiwa yang baru saja dilihatnya merupakan suatu peristiwa yang membekas dalam sekali di dalam hatinya.

Rara Wilis yang masih sangat pucat pun berjalan menyusul Endang Widuri untuk beristirahat.

Ternyata para anggota laskar Banyu Biru yang tertidur, sudah tidak lagi dipengaruhi oleh sirep Lawa Ijo. Meskipun masih ada diantara mereka yang merasa betapa nikmat mimpi yang diperoleh, namun merekapun kemudian berloncatan bangun ketika tubuh mereka digoncang-goncang oleh pemimpin-pemimpin mereka. Beberapa orang malahan menjadi bingung, sedang beberapa orang lain menjadi cemas dan malu. Lebih-lebih para petugas yang pada malam itu sedang mendapat giliran jaga. Ketika mereka meninggalkan gardu pimpinan, mereka mendapat pesan untuk berhati-hati. Sebab mereka mendapat tanda-tanda buruk pada siang harinya. Apalagi firasat para pemimpin laskar Banyubiru itupun telah memberi mereka peringatan. Tetapi tiba-tiba pemimpin mereka itu terpaksa membangunkan mereka di saat fajar hampir pecah. Meskipun demikian, tersangkut pula di dalam dada mereka sebuah pertanyaan yang tak dapat mereka jawab sendiri, ”Kenapa mereka telah melakukan suatu perbuatan yang belum pernah mereka lakukan, dan bahkan belum pernah terjadi didalam perkemahan itu, dimana seorang yang diserahi tanggungjawab melalaikan tanggungjawab…? Apalagi tidur di saat-saat penjagaan.”

Mereka menjadi agak terhibur ketika mereka mendengar penjelasan dari pemimpin-pemimpin mereka, bahwa meskipun mereka tertidur dalam tugas mereka, namun itu bukanlah kesalahan mereka seluruhnya. Sebab memang pengaruh sirep Lawa Ijo itu sedemikian tajamnya, sehingga sulitlah untuk melepaskan darinya. Ketika para pemimpin Banyu Biru itu kemudian menempatkan petugas-petugas baru pada titik-titik yang dianggap perlu untuk mendapat pengawasan, merekapun berpesan wanti-wanti kepada para petugas itu, bahwa mereka harus benar-benar waspada. Mereka diwajibkan segera memberikan tanda-tanda apabila ditemuinya sesuatu yang mencurigakan, apalagi membahayakan. Sesaat setelah mereka berangkat, di dalam gardu pimpinan itu duduklah beberapa orang yang bercakap-cakap dengan asyiknya. Diantara mereka adalah Jaladri, Bantaran, Penjawi dan Wanamerta. Dengan penuh semangat Jaladri berceritera tentang apa yang baru saja dilihatnya. Sesuatu yang belum pernah dibayangkan, meskipun hanya di dalam mimpi.

Meskipun Jaladri sendiri pada saat itu harus bertempur, tetapi setiap kali ia sempat melirik ke arah lingkaran-lingkaran pertempuran yang lain. Ia melihat Rara Wilis itu bertempur seperti sikatan menyambar belalang. Sigap, cepat dan lincah. Endang Widuri benar-benar seperti burung camar yang bermain-main di atas gelombang. Meskipun lawannya adalah seorang yang gemuk dan bersenjata di keduabelah tangannya, namun gadis itu sama sekali tidak dapat digetarkan.

Yang menggemparkan dada Jaladri kemudian adalah Arya Salaka.  Ketika ia telah kehilangan lawannya, melarikan diri, ia sempat untuk menyaksikan sepenuhnya pertempuran antara Arya Salaka melawan Lawa Ijo. Tak pernah ia membayangkan bahwa Arya Salaka mampu mengimbangi kekuatan Lawa Ijo dari Mentaok itu. Apalagi Lawa Ijo telah berhasil menyerang anak muda itu dengan udara panas, meskipun tidak sedahsyat Pasingsingan, namun seakan-akan tak terasa sama sekali oleh Arya Salaka.

Bantaran dan Penjawi mendengarkan ceritera itu dengan seksama. Ia kecewa tidak dapat menyaksikan sendiri tingkat ilmu Arya Salaka. Sebab ia ingin membandingkan dengan tingkat ilmu Sawung Sariti, yang menurut pendengarannya telah meningkat sedemikian, bahkan ia telah memiliki ilmu sakti Lebur Seketi. Di sebuah pondok yang lain, tampaklah Mahesa Jenar duduk, bersama Kebo Kanigara. Di sudut yang lain dari ruangan itu pula, Arya Salaka berbaring di atas sebuah bale-bale bambu. Ia pun ternyata lelah. Meskipun demikian ia tidak tertidur. Lamat-lamat ia masih mendengar gurunya itu bercakap-cakap dengan Kebo Kanigara. ”Aku dengar dari Widuri, Pasingsingan itu berhasil mendorongmu jatuh…?” tanya Kebo Kanigara. ”Ya, Kakang,” jawab Mahesa Jenar. ”Semula aku tidak tahu bagaimana aku melawan udara panas yang dilontarkan berdasarkan ajinya Alas Kobar.” ”Tetapi bukankah kau akhirnya dapat mengatasi aji Alas Kobar itu?” tanya Kanigara pula. ”Ya, tanpa aku ketahui, bagaimana terjadinya. Tetapi pada saat aku membulatkan tekad untuk melawan panas yang melibat seluruh tubuhku itu, tiba-tiba terasalah dari dalam dadaku getaran-getaran yang aku kenal sebagai sumber kekuatan Sasra Birawa mengalir ke segenap tubuhku. Dan dengan demikian aku kemudian terbebas dari pengaruh udara panas itu. Pada saat aku mengerahkan getaran-getaran itulah aku dapat dikenai oleh Pasingsingan, di pundakku, sehingga aku terdorong jatuh. Karena aku memang tidak mengadakan perlawanan pada daya dorong itu, sebab aku tidak mau kehilangan kesempatan, sehingga getaran-getaran itu terganggu.”

Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum. Ia merasa bangga pula, bahwa Mahesa Jenar, meskipun tanpa disadarinya sendiri telah meningkat pula pada penguasaan ilmunya lebih sempurna lagi dengan mengalirkan ilmu Sasra Birawa ke segenap tubuhnya dalam bentuk perlawanan dan pertahanan. Kemudian ia bertanya pula, ”Tidakkah iblis itu kau lumpuhkan dengan Sasra Birawa itu pula? Aku kira ia mempunyai cukup daya tahan sehingga ia tidak akan mati karenanya. Dengan demikian kau akan dapat menangkapnya hidup-hidup.”

Mahesa Jenar ragu sebentar. Kemudian ia menjawab, ”Kakang, semula akupun bermaksud demikian. Tetapi ketika aku sadar bahwa getaran-getaran ilmuku sedang mengalir ke segenap tubuhku, aku takut kalau-kalau dengan demikian getaran-getaran itu harus terhisap kembali untuk kemudian aku salurkan ke sisi telapak tanganku. Dengan demikian aku akan hangus oleh aji Alas Kobar itu.”

Kebo Kanigara kini tidak hanya tersenyum.Tetapi ia tertawa. Katanya, ”Itulah keistimewaanmu Mahesa Jenar. Kau berhasil menekuni ilmu perguruan Pengging sehingga hampir sempurna, tanpa tuntunan dari siapapun. Karena itu di dalam perkembangan yang terjadi pada dirimu, ada beberapa unsur yang tak kau kenal sendiri. Kau berhasil meragakan sukmamu pada saat kau capai kesempurnaan ilmu Sasra Birawa. Tetapi dalam penerapan yang pernah kau kenal sebelumnya. Sedangkan sebenarnya engkau dapat menerapkan dalam keperluan lain, karena kekuatan-kekuatan yang tersimpan di dalam tubuhmu itu adalah kelengkapan darimu sendiri yang tunduk pada kehendakmu. Dengan demikian, Mahesa Jenar, aku yakin sekarang, bahwa kau benar-benar akan dapat mengalahkan iblis itu apabila pertempuran diteruskan. Sebab ilmu Sasra Birawa adalah seperti mata air yang agung yang tak akan kering meskipun airnya mengalir siang dan malam ke segenap penjuru.” Mendengar uraian Kebo Kanigara itu, alangkah besarnya hati Mahesa Jenar. Ia merasa bahwa dadanya bergetar karena bangga. Ah, seandainya saja ia tahu sebelumnya, bahwa ilmu Sasra Birawa yang bersumber di pusat dadanya itu seperti mata air yang tak akan kering disegala musim. Seandainya ia tahu bahwa ia dapat mempergunakan ilmu itu sekaligus untuk berbagai kemungkinan.

Sebagai manusia, Mahesa Jenar merasa bahwa ia kini memiliki senjata yang dahsyat tiada taranya. Bukankah dengan demikian ia menjadi seorang yang dapat membebaskan diri dari perasaan sakit yang disebabkan oleh rangsang dari luar tubuhnya apabila ia menghendaki dengan matek aji Sasra Birawa? Meskipun ia tidak menjadi kebal karenanya, namun ia memiliki ketahanan yang mirip dengan ilmu kekebalan. Tetapi sebenarnya pada saat-saat yang demikian itulah saat-saat yang paling berbahaya bagi manusia. Pada saat ia menyadari kelebihan diri dari orang lain. Pada saat ia dengan penuh kesadaran merasa tak akan mudah orang mengalahkannya.

Untunglah bahwa Mahesa Jenar memiliki bekal yang cukup untuk menerima kurnia dari Tuhan Yang Maha Esa atas usahanya yang tak kenal lelah dalam pembajaan diri. Itulah sebabnya, pada saat ia sadar akan dirinya, meskipun mengembang pula perasaan bangga sebagaimana perasaan manusia biasa, namun di dalam relung hatinya, Mahesa Jenar dengan penuh kerendahan diri, mengucapkan syukur dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Yang Maha Pengasih atas karunia itu. Bahkan diam-diam ia berjanji untuk mempergunakan ilmunya dalam kebaktian dan pengabdian pada titahnya, sesama manusia, dengan penuh rasa cinta kasih.

Kebo Kanigara menyaksikan wajah Mahesa Jenar dengan seksama, seolah-olah ia sedang membaca apakah yang tersirat dari wajah itu.

Sebagai seorang yang penuh dengan bermacam-macam pengalaman, tahulah Kebo Kanigara bahwa pada saat-saat yang paling berbahaya itu, Mahesa Jenar tidak tergelincir ke dalam sikap yang tercela. Ia tahu bahwa Mahesa Jenar tidak menjadi sombong karenanya sehingga kehilangan pengamatan atas tingkah laku dan perbuatan-perbuatannya pada masa-masa yang akan datang. Sebagai seorang yang berpandangan luas, Kebo Kanigara mengerti bahwa Mahesa Jenar itu sampai tergelincir karena kesombongannya atas keperkasaan diri, atas ilmu yang dimilikinya, maka akibatnya akan sangat berbahaya. Ia akan mampu menggoncangkan kerajaan Demak. Tidak menggoncangkan keamanan dan ketertiban, namun seandainya ia mau, ia akan dapat menghimpun kekuatannya untuk menghancurkan Demak. Tetapi ia yakini kemudian, bahwa Mahesa Jenar akan tetap dapat memelihara kemurnian dari tujuannya. Mengabdikan diri setulus-tulusnya pada keyakinannya, pada kebenaran dan keadilan.

Beberapa saat setelah pondok itu dicekam oleh keheningan, terdengarlah Mahesa Jenar berkata perlahan-lahan, ”Aku bersyukur kepada Yang Maha Kuasa, serta berterima kasih kepada Kakang Kebo Kanigara yang telah memberi aku kemungkinan-kemungkinan yang lebih luas dalam pengabdian diri. Mudah-mudahan aku dapat mrantasi, dapat memanfaatkan ilmuku ini sebaik-baiknya.”

Kebo Kanigara mengangguk-angguk puas. Ia tidak menjawab, tetapi hatinya berkata, ”Berbahagialah kau Mahesa Jenar. Berbahagialah atas kurnia yang kau terima, dan berbahagia atas keluhuran hatimu.”

Namun yang terucapkan adalah, ”Meskipun demikian Mahesa Jenar, aku atas nama gurumu, ayah Penging Sepuh almarhum ingin memperingatkan bahwa ilmu perguruan Pengging janganlah kau pergunakan pada setiap saat, pada setiap kesempatan sebagai pameran kekuatan yang tak berarti. Ilmu itu hanya akan kau pergunakan pada saat-saat dimana kau harus dapat mempertanggungjawabkan akibatnya. Tidak kepada sesama manusia, tidak kepada para pemimpin di Demak, bahkan tidak kepada Sultan Demak saja. Tetapi lebih daripada itu, kau akan mempertanggungjawabkan kepada Yang Maha Ada di atas segala pertanggunjawaban yang lain. Sebab kau menjadi lantaran, tidak dari para pemimpin dan tidak siapapun. Tetapi ilmumu kau terima dari Yang Maha Tinggi.”

Meskipun apa yang didengarnya dari Kebo Kanigara itu seperti apa yang didengarnya dari suara hati nuraninya, namun Mahesa Jenar dengan penuh minat mendengarkan nasihat dari orang yang dianggapnya pengganti gurunya. Sebab ia tahu benar bahwa Kebo Kanigara tidak hanya mampu berkata, tetapi apa yang dilakukannyapun sesuai benar dengan kata-katanya itu. Mempergunakan-ilmunya pada kesempatan yang tepat, untuk keperluan yang tepat pula.

Kecuali Mahesa Jenar, di salah satu sudut ruangan itu berbaring Arya Salaka. Ia mendengar semua pembicaraan gurunya dengan Kebo Kanigara itu. Ia mengetahui pula, betapa gurunya kini benar-benar menjadi manusia yang luar biasa, yang tidak akan dapat dikalahkan oleh Pasingsingan. Dengan demikian gurunya sudah tidak akan lagi silau seandainya ia duduk bersama-sama dengan Ki Ageng Pandan Alas, Ki Ageng Sora Dipayana, kakeknya, dan orang-orang lainyang setingkat dengan mereka itu. Namun disamping itu, ia mendengar pula nasihat-nasihat Kebo Kanigara kepada gurunya.

Dengan demikian, di dalam hati Arya Salaka timbul pula harapan, bahwa apabila ia bekerja dengan tekun, iapun akan mampu pula menerima kekuatan seperti gurunya itu. Meskipun demikian, di dalam hatinya tumbuh pula janji kepada dirinya sendiri bahwa iapun akan berbuat seperti gurunya, seperti apa yang dinasihatkan oleh Kebo Kanigara. Karena angan-angannya itu, maka tiba-tiba merasa badan Arya Salaka bergetar. Bergetar karena harapan pada masa yang akan datang, pada kesulitan-kesulitan yang masih harus diatasi. Ketika kemudian Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar itu bangkit dari tempat duduknya masing-masing untuk beristirahat, dan membaringkan diri mereka masing-masing, Arya Salaka masih tetap berangan-angan.

Tiba-tiba meloncatlah perasaan rindunya kepada masa depan itu. Kepada masa dimana ia dapat menikmati cerahnya sinar matahari, tanpa perasaan was-was dan gelisah, tanpa perasaan cemas pada hari kemudian. Dan tiba-tiba saja ia merasa rindu pula kepada keluarganya, kepada ibunya yang mengasuhnya pada masa kanak-kanaknya dengan penuh kasih sayang, kepada ayahnya, yang meskipun terkadang-kadang marah kepadanya, namun dengan penuh keikhlasan seorang ayah telah mendidiknya menghadapi masa kemudian.

Bersambung ke Naga 42……